Perang Menyisakan Luka di Hati Warga Suriah

Baca Juga

MATA INDONESIA, JENEWA –  Perang yang terjadi tahun 2011, hanya menyisakan luka untuk warga Suriah. Seorang pemuda Suriah harus menderita selama satu dekade akibat perang yang melanda negerinya. Ia bahkan harus menghadapi kenyataan bahwa negaranya kini tak lagi utuh, ya, porak-poranda tepatnya.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC) terhadap 1,400 warga Suriah yang tinggal di negaranya, maupun yang kini berada di pengasingan di Lebanon dan Jerman menyoroti bagaimana para pemuda Suriah yang berusia antara 18-25 tahun harus bertahan hidup.

“Salah satu hasil mengejutkan dari survey ini adalah sebanyak 50 persen warga Suriah memiliki teman atau anggota keluarga yang terbunuh … Bahkan satu dari enam warga Suriah kehilangan orang tua yang terbunuh atau terluka,” kata Direktur Regional ICRC untuk Timur Tengah, Fabrizio Carboni, melansir Reuters, Rabu, 10 Maret 2021.

“Membangun kembali negara yang ada di pundak mereka, jelas itu sangat tidak adil,” sambung Fabrizio Carboni dalam sebuah wawancara di kantor pusat ICRC di Jenewa, Swiss.

Laporan tersebut bertepatan dengan peringatan 10 tahun dimulainya protes terhadap pemerintahan Presiden Bashar al-Assad yang mendapat dukungan Rusia dan Iran. Akibat konflik ini, hampir setengah dari pemuda Suriah harus kehilangan pekerjaan.

Konflik juga memiliki efek lainnya, di mana warga Suriah kesulitan untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya. Kepala keluarga di Suriah juga tak lagi dapat menghidupi keluarga mereka.

“Kaum perempuan sangat terpukul secara ekonomi, dengan hampir 30 persen warga di Suriah dilaporkan tidak memiliki sama sekali pendapatan untuk menghidupi keluarga mereka,” sambung pernyataan ICRC.

Seorang pemuda bernama Mouna Shawat yang berjalan menggunakan tongkat karena kehilangan kaki kiri melewati blok-blok bangunan yang dibom di kota Aleppo Suriah. Jalan-jalan yang ia lewati masih penuh dengan puing-puing bangunan.

Kaki kiri Shawat harus diamputasi beberapa tahun lalu setelah alat peledak improvisasi meledak tepat ketika ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Shawat yang tinggal bersama kedua anaknya di Aleppo, mengenang kembali nostalgia akan masa mudanya sebelum perang saudara di Suriah pecah.

“Kami memiliki segalanya, gas, solar, dan sebagainya. Sekarang kami kedinginan dan kelaparan. Kami juga perlu menunggu gas menjadi hangat,” kata Shawat.

Menyaksikan sang ayah yang hanya bertumpu pada satu kaki, kedua anak Shawat pun kerap menangis. Akan tetapi sang ayah tak dapat berbuat banyak selain menghibur kedua buah hatinya agar tak lagi bersedih.

“Sampai hari ini, setiap kali saya muncul, mereka mulai menangis. Saya mencoba menghibur mereka,” sambungnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini