Mengenal Karel Sadsuidtubun, Pahlawan Revolusi yang Tak Populer

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Aipda Karel Sadsuitubun merupakan anggota polisi yang menjadi korban tragedi Gerakan 30 September (G30S) yang dilakukan PKI tahun 1965.

Meski sama-sama menjadi korban, namun nama Karel Sadsuitubun tidak sepopuler tujuh korban lainnya yang sama-sama dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

Nama lelaki yang lahir 14 Oktober 1928 di Rumadian, Maluku Tenggara tersebut memang banyak digunakan sebagai nama jalan di banyak kota sekarang, namun selama ini masyarakat tidak banyak yang mengetahui bahwa dia juga korban keganasan gerakan liar tersebut.

Saat remaja Karel memutuskan bergabung dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau Bhayangkara Dua Polisi sekarang. Golongan pangkat terrendah di kepolisian.

Setelah dipindahtugaskan ke Jakarta, Karel mendapat pangkat Polisi Kelas Satu atau setara Bhayangkara Satu Polisi sekarang.

Pada tahun 1954, Karel mengikuti latihan Brimob di Sekolah Polisi Negara Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Setahun kemudian ia bertugas di Sumatera Utara.

Ia juga pernah bertugas di Aceh selama tiga bulan pada 1956. Saat itu di Aceh sedang terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam di Indonesia.

Setelah itu, ia kembali ke Jakarta dan ditempatkan di Ciputat. Tak begitu lama di Ciputat dia dikirim lagi ke Sulawesi Selatan untuk menumpas pemberontakan Permesta dan DI/TII Kahar Muzakkar selama enam bulan.

Namun 2 September 1960, Karel dikirim ke Sumatera Barat tugasnya sama yaitu menumpas pemberontakan, kali ini dilakukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Masa tugasnya juga sama yaitu enam bulan saja. Dia bertugas di bagian lapis baja Kompi C/1129.

Tugas selanjutnya adalah mengikuti Operasi Trikora untuk merebut Papua dari Belanda. Karel bergabung dengan TNI Angkatan Darat.

Dalam pemberontakan G30S, nama Karel Sadsuitubun bukan sasaran gerakan tersebut. Dia hanya berada pada waktu yang salah saat satu regu G30S memasuki rumah dinas Wakil Perdana Menteri, Johannes Leimena.

Leimena juga bukan sasaran G30S karena sasaran mereka sesungguhnya adalah Jenderal AH Nasution yang rumah dinasnya bersebelahan dengan Rumah Leimena.

Saat itu Karel sedang mendapat tugas jaga di rumah pejabat tinggi tersebut. Ketika dia sedang tertidur di pos jaganya, tiba-tiba dua orang anggota gerakan membangunkannya.

Semula ia mengira itu dilakukan teman yang sedang iseng mengganggu tidurnya. Namun dia sadar bahwa pelaku tersebut bukan temannya ketika Karel ditendang anggota G30S.

Lalu, terjadilah perkelahian yang tak seimbang antara Karel dengan pasukan G30S.

Perkelahian itu tidak berlangsung lama karena anggota gerakan menghantam Karel dengan timah panas, dia pun meninggal dunia sebelum usianya mencapai 37 tahun.

Setelah itu, pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Ajun Inspektur Polisi Kelas Dua dan diberi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia.

Namun, belakangan Keluarga memprotes penulisan nama Karel yang banyak digunakan sebagai nama jalan.

Umumnya nama itu ditulis dengan KS Tubun sehingga jalan di daerah Petamburan lebih dikenal dengan sebutan itu.

Padahal nama belakang Karel adalah nama marga atau keluarga besar Sadsuitubun yang penulisannya tidak bisa dipisah. (Annisaa Rahmah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini