Ketentuan Musafir Meninggalkan Puasa Ramadan dan Cara Qadha

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kendati puasa hukumnya wajib bagi semua orang Islam, terdapat beberapa golongan yang memperoleh keringanan tidak berpuasa, salah satunya adalah musafir atau orang yang melakukan perjalanan jauh.

Seperti dijelaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi: “Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Artinya, jika seseorang merasa tak kuat untuk melanjutkan puasa, maka ia diperkenankan untuk berbuka atau tidak puasa. Sebaliknya, jika ia mampu melanjutkan puasa meski dalam perjalanan, ia pun diperbolehkan untuk berpuasa.

Namun, apakah keringanan seorang musafir itu berluka untuk semua tanpa ada ketentuan khusus?

Musafir boleh tetap berpuasa Ramadan atau memilih untuk tidak menjalankan ibadah ini. Jika tak berpuasa, musafir wajib mengganti puasa tersebut di luar Ramadan.

Landasannya ialah hadis dari Aisyah Ra, bahwa Hamzah bin Amr Alaslami RA pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw tentang puasa dalam perjalanan. Rasul pun memberikan jawaban: “Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah,” (HR. Muslim).

Jika maksud perjalanan yang dilakukannya untuk ibadah (haji, umrah, dan yang sejenisnya) atau hal mubah (berdagang atau silaturahmi), ia boleh meninggalkan puasa serta meng-qadha atau mengganti ibadah ini pada bulan selain Ramadhan. Sementara jika tujuan perjalanannya untuk maksiat, maka tidak ada rukhsah atau keringanan bagi sang musafir.

Konsekuensi bagi seorang musafir yang tidak melaksanakan puasa Ramadan tersebut diharuskan untuk mengganti puasanya di luar bulan Ramadan. Kewajiban tersebut disunnahkan untuk diselesaikan setelah Ramadan berakhir.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 61: “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”

Kendati demikian, sebenarnya melaksanakan qadho dibolehkan untuk ditunda jika ada hajat atau urusan lain. Qadha dapat dilakukan mulai dari bulan Syawal hingga bulan Syaban, asalkan belum masuk Ramadan berikutnya.

Dalil mengenai diperbolehkannya menunda qadha berdasarkan hadis dari Abu Salamah yang mengaku pernah mendengar Aisyah RA menyatakan: “Aku masih memiliki utang puasa Ramadan. Aku tidaklah mampu meng-qadhanya, kecuali di bulan Syaban.” Yahya (salah satu perawi hadis) mengatakan bahwa hal ini dilakukan Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi Saw. (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, menunaikan puasa qadha juga dibolehkan tidak berturut-turut. Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang memiliki hutang puasa Ramadan lebih dari satu hari.

Reporter: Mala Komala

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini