Pilpres AS, Populer Bukan Berarti Bisa Menjadi Presiden

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON – Sabtu pagi, 7 November tepat pukul 09.30 waktu Amerika Serikat, perhitungan suara di negara bagian Pennsylvania rampung. Joe Biden berhasil meraih 20 suara elektoral. Total peraihan suara elektoral Biden adalah 284 dan melewati angka psikologis 270 suara untuk meraih kemenangan sebagai presiden Amerika Serikat.

Sulit rasanya jika pesaing Biden, Donald Trump untuk mengejar ketinggalan suara elektoral. Meski perhitungan di beberapa negara bagian lainnya belum rampung, namun perolehan suara Trump untuk mengejar suara yang berhasil dikumpulkan Biden semakin sulit.

Itulah yang membuat sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat menjadi menarik. Di AS, rakyat memang memilih sendiri capresnya, namun suara rakyat atau di AS disebut popular vote tak menentukan kemenangan seorang kandidat presiden.

Electoral College adalah suara elektoral pada 50 negara bagian AS berdasarkan jumlah populasi masing-masing negara bagian. Terdapat 538 suara elektoral di seluruh AS. Artinya, bagi dua kandidat capres membutuhkan minimal 270 suara elektoral untuk dapat memenangi pilpres dan berhasil menduduki Gedung Putih.

Ketika orang Amerika memberikan suaranya, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menentukan suara elektoral. Kata “college” di sini merujuk pada sekelompok orang dengan tugas bersama.

Orang-orang ini disebut electors atau pemilih, dan tugas mereka adalah memilih presiden dan wakil presiden. Electors bertemu setiap empat tahun, beberapa minggu setelah hari pemilihan, untuk melaksanakan tugas itu.

Seperti dikutip dari BBC, setiap negara bagian di AS memiliki jumlah pemilih elektoral sesuai dengan jumlah penduduk negara bagiannya. Semakin banyak penduduknya, semakin banyak electors-nya. Setiap negara bagian AS memiliki jumlah pemilih elektoral yang sama dengan jumlah anggota parlemen mereka dapatkan untuk Kongres AS (perwakilan untuk House dan Senator).

California memiliki jumlah electors terbanyak dengan jumlah 55 suara elektoral. Sementara negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, North Dakota serta Washington DC minimal memiliki 3 suara elektoral. Sehingga, total jumlah Electoral College se-AS adalah 538 suara.

Secara teknis, orang Amerika memberikan suara untuk pemilih elektoral itu, bukan kandidat capres itu sendiri. Para pemilih biasanya adalah loyalis partai yang berjanji untuk mendukung kandidat yang mendapatkan suara terbanyak di negara bagian mereka. Setiap pemilih mewakili satu suara di Electoral College.

Biasanya negara bagian memberikan semua suara elektoralnya untuk calon presiden yang memenangkan suara dari pemilihan nasional atau popular vote. Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, maka dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian tersebut.

Sebagai contoh lain, jika capres A mendapatkan 6 juta suara di California, sementara capres B mendapatkan 5,5 juta suara. Maka, capres A berhak atas 55 orang pemilih elektoral yang akan maju ke Electoral College.

Sehingga, capres dapat memenangkan suara di sejumlah negara bagian meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri. Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode “distrik kongresional”.

Distrik Kongresional diartikan bahwa, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat. Sedangkan, dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian. Inilah yang menjadi alasan para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh negeri.

Pemenang pilpres berdasarkan mayoritas Electoral College pernah terjadi di Pilpres AS. Pada 2016, Donald Trump kalah di hampir tiga juta suara publik seluruh negeri dari Hillary Clinton, namun Trump berhak menduduki jabatan presiden karena menang mayoritas di Electoral College.

Pada Pilpres 2000, George W Bush juga menang di level Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore lawannya dari partai Demokrat lebih unggul 500 ribu suara di tingkat popular votes. Ada tiga lagi presiden lain yang menang pilpres meski kalah di pemungutan suara nasional, yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya terjadi pada abad ke-19.

Metode ini adalah hasil kompromi konstitusional yang menggabungkan pemilihan presiden dengan suara pemilih paling banyak dengan pemilihan presiden melalui Kongres (DPR dan Senat).

Sejarah pemilihan menggunakan Electoral College ini dimulai usai Amerika memproklamasikan kemerdekaanya pada 4 Juli 1776. Sebagai negara yang baru merdeka, belum ada sistem pemilihan presiden yang jelas. Ada kelompok yang berpendapat bahwa Kongres tidak boleh ada hubungannya dengan pemilihan presiden. Terlalu banyak peluang untuk korupsi. Sehingga pemilihan presiden harus dilakukan secara langsung atau popular vote.

Kubu lainnya menentang pemilihan presiden dengan popular vote. Pertama, mereka berpandangan pemilih abad ke-18 kekurangan sumber daya untuk mendapatkan informasi lengkap tentang kandidat, terutama di daerah pedesaan. Kedua, mereka takut akan adanya “massa demokratis” yang keras kepala dan menyesatkan negara.

Ketiga, terkait dengan presiden populis yang dianggap dapat “membahayakan” jika berkuasa.

Berbagai metode pemeilihan presiden atau badak eksekutif dilakukan untuk mendapat sistem yang tepat untuk Amerika Serikat.

Metode pemilihan yang ditawarkan mulai dari dipilih oleh legislatif, pemilihan langsung, dipilih gubernur, hingga motede lotre. Dari debat berlarut-larut itu muncul kompromi berdasarkan gagasan perantara pemilu. Perantara ini tidak akan dipilih oleh Kongres atau dipilih oleh rakyat.

Sebaliknya, masing-masing negara bagian akan menunjuk pemilih atau elector independen yang akan memberikan suara sebenarnya untuk kursi kepresidenan. Kompromi ini disebut untuk melindungi hak negara bagian, meningkatkan kemandirian dari eksekutif, dan menghindari pemilihan umum.

Anggota Kongres secara tegas dilarang menjadi pemilih, Konstitusi mewajibkan DPR dan Senat untuk menghitung surat suara dari Electoral College, dan jika terjadi seri, untuk memilih masing-masing Presiden dan Wakil Presiden.

Awalnya, pemilih memilih dua orang tanpa membedakan antara surat suara untuk Presiden dan Wakil Presiden. Pemenang dari blok suara terbesar, selama itu adalah mayoritas dari semua suara yang diberikan, akan memenangkan kursi kepresidenan. Calon dengan jumlah suara terbesar kedua akan menjadi Wakil Presiden. Misalnya tahun 1796, pemilu AS berhasil memilih John Adams menjadi Presiden dan Thomas Jefferson menjadi Wakil Presiden meskipun berselisih dalam perebutan kursi kepresidenan.

Meski sudah diterapkan hingga 200 tahun lamanya, bukan berarti sistem Electoral College ini tanpa cela. Banyak kritik dan tentangan terhadap sistem ini.

Bagi para penentang Electoral College, sistem ini jelas telah kuno, anti-demokrasi, tidak adil, tidak akurat, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan/Dari berbagai sumber

Reporter: Fachmi Juniyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini