Kurangi Potensi Longsor, KLHK Terapkan Sistem Soil Bioengineering

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA - Sebagai upaya menanggulangi  bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda wilayah Jabodetabek dan Banten pada beberapa pekan terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan beberapa upaya preventif untuk mencegah terulangnya kembali bencana alam yang sama di kemudian hari. Salah satu diantaranya yaitu dengan menerapkan sistem soil bioengineering pada lahan miring.

Budi Hadi Narendra, Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK mengatakan bahwa soil bioengineering ini adalah suatu metode dengan prinsip penutupan permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman untuk meningkatkan kohesi tanah yang berfungsi sebagai sistem konstruksi alami penstabil lereng. Metode ini dianggap lebih terjangkau jika dibandingkan dengan alternatif lain, yaitu Rekayasa Geoteknik.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Banjir Bandang dan Tanah Longsor Kabupaten Lebak dan Bogor, maka diketahui bahwa kedua lokasi bencana tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 30 derajat. Longsor dapat terjadi apabila kestabilan dari massa penyusun lereng terganggu.

“Kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi, khususnya kemiringan lereng, kondisi batuan atau tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng”, ujar Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2020.

Sedangkan untuk pemicu longsor, Budi menyebutkan beberapa faktor, yaitu peningkatan kandungan air pada lereng akibat hujan, getaran saat gempa bumi, peningkatan beban seperti bangunan dan pohon yang rimbun, pemotongan kaki lereng, serta menyusutnya muka air di danau atau waduk yang dapat menurunkan gaya penahan lereng.

Dengan adanya soil bioengineering ini maka akar tanaman akan melakukan pencengkeraman yang dapat meningkatkan gaya penahan di dataran miring. Tak hanya itu, akar vegetasi juga berperan dalam memberikan kestabilan di wilayah lereng.

Dalam penentuan jenis tanaman yang akan digunakan dalam soil bioengineering ini perlu memperhatikan beberapa karakteristik, seperti kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola percadangan akar, pola kemiringan akar, dan diameter akar.

Melalui penelitian yang mendetail, maka pihak KLHK menemukan 2 jenis tanaman yang cocok untuk memenuhi sistem ini, yaitu tanaman vetiver dan tanaman bidara laut (Strychnos lucida R.Br.)

Bidara laut dianggap cocok untuk ditanam pada daerah rawan longsor karena selain perakarannya yang sesuai, jenis pohon ini ukurannya juga tidak terlalu besar. Jadi apabila dikombinasikan dengan tumbuhan vetiver, keduanya akan membentuk strata atau tingkat yang sesuai.

“Vetiver di lapisan bawah sedangkan bidara laut di lapisan atas. Tajuk yang berstrata ini akan lebih berperan efektif dalam pengurangan erosi,” kata Budi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini