Suwarsih Djojopuspito, Pejuang Perempuan dengan Perlawanan Pasif

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Indonesia sejatinya memiliki banyak perempuan cerdas yang pemberani. Selain RA Kartini, sejarah negara ini juga mencatat perlawanan pasif seorang Suwarsih Djojopuspito.

Meski dia menyandang nama belakangnya yang menggambarkan suku Jawa, namun Suwarsih adalah perempuan Sunda yang lahir di Cibatok, Bogor 21 April 1912.

Nama belakangnya dia peroleh dari perkawinan dengan Sugondo Djojopuspito pada 1933. Dia tampaknya menemukan jodoh yang tepat karena sama-sama menyintai dunia pendidikan.

Usai menikah Suwarsih dan Sugondo pindah ke Bandung dan mengajar di Perguruan Tamansiswa Bandung, di mana Sugondo menjadi kepala sekolahnya.

Meskipun memiliki ijazah sebagai guru sekolah Belanda dan memiliki kesempatan untuk mengajar di sekolah Belanda namun ia lebih memilih bekerja di perguruan pribumi. Ia juga aktif dalam Perkoempoelan Perempoean Soenda sebagai anggota. Kakaknya, yang bernama Suwarni, menikah dengan A.K.Pringgodigdo.

Namun, keduanya bahu membahu dalam dunia pergerakan kemerdekaan Indonesia yang sedang menggelegak di setiap hati manusia, apalagi pemuda Indonesia ketika itu. Suwarsih seperti mendapat semangat tambahan untuk aktif di dunia itu setelah pernikahannya dengan Sugondo.

Tetapi perempuan yang dipanggil Tjitjih itu tidak aktif mengangkat senjata. Perlawanannya terhadap kolonialisme dia lancarkan melalui tulisan-tulisannya, termasuk tulisan fiksi.

Salah satu karya novelnya yang terkenal sebagai bentuk perlawanan senyap berjudul “Buiten Het Gareel,” ditulis pada 1930.

Naskah Buiten Het Gareel semula ditulis dalam bahasa Sunda dan dikirim ke Balai Pustaka (BP) yang masih bernaung di bawah pemerintah kolonial. Namun, naskah tersebut ditolak dengan alasan berbau politik perlawanan terhadap pemerintah kolonial sehingga dinilai kurang berguna untuk bahan pengajaran.

Ide cerita novel yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Manusia Merdeka” itu mirip sekali dengan perjalanan hidup Suwarsih dan Sugondo. Suami-istri yang menggeluti dunia pendidikan dan pergerakan kemerdekaan sekaligus.

Tokoh utamanya adalah Sudarmo dan Sulastri. Karena aktivitasnya dalam pergerakan kemerdekan, Pemerintah Kolonial Belanda bahkan sering mengincar Sudarmo.

Karena menjadi incaran Pemerintah Belanda, Sudarmo pun tidak hanya menekuni pekerjaan sebagai pengajar di sekolah. Dia melakukan bermacam-macam pekerjaan, tetapi hatinya tetap memilih mengajar yang menjadi idealismenya.

Cerita itu sangat kental diwarnai kejaran polisi kolonial terhadap Sudarmo dan keluarganya yang aktivitas pergerakannya dianggap membahayakan pemerintah Belanda saat itu.

Setelah melalui proses panjang, Buiten Het Gareel akhirnya diterbitkan tahun 1940 dan cetak ulang tahun 1946. Karya Suwarsih dianggap penting di masanya.

Penulis buku tentang pergerakan perempuan Indonesia, Cora Vreede de Stuers menyebut karya Suwarsih merupakan bentuk pelawanan pasif pada pemerintah Hindia Belanda. Apalagi pertengahan 1930 hingga 1940 -an Pemerintah Belanda sedang melakukan penghematan besar-besaran akibat dilanda krisis dan gencar menangkapi semua orang yang dianggap nonkooperatif.

Alhasil, perjuangan kemerdekaan dilakukan lewat cara-cara halus seperti menulis roman seperti dilakukan Suwarsih atau mendirikan sekolah liar sebagai wujud kepedulian pada rakyat bawah yang tak sanggup menjangkau pendidikan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini