Malcolm X, Aktivis Kulit Hitam yang Temui Titik Terang Dalam Islam

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Malcolm X aktivis pejuang kulit hitam yang memiliki pengaruh besar di Amerika Serikat menemui titik terang hidupnya ketika memeluk Islam.

Terlahir dengan nama asli Malcolm Little anak keempat dari tujuh bersaudara buah hati pasangan Louise Litte dan Earl Little. Ia lahir tanggal 19 Mei 1925 di Amerika Serikat dari keluarga yang taat beragama karena ayahnya Earl seorang pendeta kelahiran Georgia.

Tetapi semua berubah ketika Black Legion sekelompok pendukung kulit hitam diduga membunuh ayahnya dengan cara menabrak dengan trem. Meskipun polisi setempat berependapat bahwa ayahnya itu tergelincir kemudian tertabrak.

Malcom tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua karena selepas kematian ayahnya, ia juga harus tegar menerima kenyataan bahwa ibunya terkena gangguan saraf yang membuatnya tinggal di rumah sakit jiwa.

Itulah masa-masa kelam bagi Malcolm menghadapi kenyataan hidup yang penuh dinamika bahkan ia harus tinggal di panti asuhan terpencar dari saudara-saudaranya yang lain.

Masa remajanya juga tidak luput dari kesuraman, ia harus berkecimpung dengan obat bius, perjudian, perampokkan, dan seorang germo demi menyambung hidup.

Pada tahun 1946 dia ketahuan mencuri jam tangan mewah saat hendak menjualnya di sebuah toko perhiasan. Ia tertangkap basah dan langsung dijebloskan ke dalam penjara dengan vonis 8- 10 tahun penjara.

Di dalam penjara ia rutin menerima pesan dari saudara-saudaranya tentang Nation of Islam sebuah organisasi Islam di Amerika Serikat yang lebih pro kepada supremasi orang berkulit hitam.

Malcolm dikenal sebagai aktivis yang berani mengkritik orang-orang berkulit putih, menuntut kesetaraan, kebebasan, dan keadilan yang sama bagi orang berkulit hitam. Ia juga salah satu orang paling berpengaruh di Amerika Serikat.

Pada tahun 1963 ia memutuskan keluar dari Nation of Islam karena perbedaan pendapat. Ia menganggap bahwa cara berpikir internal Nation of Islam masih sangat kaku sehingga kurang menerima kritik atau masukan dari luar.

Satu tahun kemudian ia berhaji ke Tanah Suci Makkah, di sana Malcolm melihat semua orang berkumpul dengan pakaian yang sama tetapi dengan bentuk dan ras yang berbeda serta saling berinteraksi satu sama lain. Ia takjub dengan perdamaian di dalam Islam.

Mengutip dari Ihram.co.id pada pesan terakhirnya Malcolm menuliskan, “Saya tidak pernah meyaksikan keramahan yang tulus dan semangat persaudaraan yang luar biasa seperti yang dipraktikkan oleh orang-orang dari semua warna dan ras di Tanah Suci. Rumah Ibrahim, Muhammad, dan nabi lainnya yangtertulis di Kitab Suci,” tulisan Malcolm dari suratnya dari Makkah.

Ia juga mengaggumi suasana kekeluargaan dan peraudaraan yang hangat di sana, bahwa tida ada yang lebih kaya, tampan, hitam, atau putih semuanya sama di mata Tuhan Yang Masa Esa.

“Selama 11 hari terakhir di dunia muslim, saya makan dari piring yang sama, minum dari gelas yang sama, dan tidur di karpet yang sama sembari berdoa kepada Tuhan yang sama dengan sesame muslim,” tulisnya.

Malcolm wafat tertembak 21 peluru di dadanya tanggal 21 Februari 1965 di Manhattan, Amerika Serikat. (Anita Rahim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini