Ini Dua Aktor Besar di Balik Rusuhnya Demo Tolak Omnibus Law

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Polemik tentang Omnibus Law khususnya klaster RUU Cipta Kerja sudah menjadi pro dan kontra sejak awal. Bahkan pasca pengesahannya pada 5 Oktober 2020 lalu, ikut memantik aksi demo di sejumlah daerah hingga berujung anarkis.

Pengamat Politik Karyono Wibowo mengatakan bahwa fenomena ketidakpuasan yang diekspresikan dalam bentuk aksi unjuk rasa merupakan hal lumrah. Tentu saja, organisasi serikat buruh berkepentingan untuk memperjuangkan hak hak buruh.

Sementara pemerintah bersama DPR sebagai regulator memiliki kepentingan untuk membuat aturan yang diselaraskan dengan program pembangunan nasional seperti meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja.

“Aksi unjuk rasa terjadi karena belum ada kesepahaman di antara para stakeholder. Di satu sisi, aksi demo yang dilakukan sejumlah elemen buruh karena mereka merasa beleid tersebut belum memenuhi hak mereka. Sementara, pihak pemerintah menilai beleid tersebut sudah mengakomodir hak-hak buruh. Inilah yang perlu diperjelas agar terjadi kesepahaman,” ujarnya kepada Mata Indonesia, Senin 12 Oktober 2020.

Ia pun menyarankan kepada segenap pihak agar bijak dalam menyikapi aksi penolakan UU Cipta Kerja yang menimbulkan tindakan anarkis di sejumlah daerah.

“Saya meyakini aksi buruh dan mahasiswa semangatnya murni memperjuangkan hak rakyat. Namun sulit dipungkiri aksi penolakan UU Cipta Kerja telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu,” katanya.

Karyono mengatakan bahwa setidaknya ada dua kelompok yang memanfaatkan aksi tersebut. Pertama, kelompok partai politik yang menolak UU Cipta Kerja tentu berkepentingan untuk mengambil keuntungan (benefit) politik dengan cara mengkapitalisasi aksi penolakan untuk mendapatkan simpati publik.

“Tujuan akhirnya adalah meningkatkan dukungan suara pada pemilu 2024 yang akan datang. Hal ini wajar dalam konteks pertarungan politik elektoral,” ujarnya.

Yang kedua, adalah kelompok yang mencoba mengadu keberuntungan. target utamanya agar terjadi situasi chaos seperti peristiwa 1998. Sedangkan target minimalnya adalah memanfaatkan aksi untuk mendelegitimasi pemerintahan dan meningkatkan ketidakpuasan publik.

Untuk itu, Karyono berharap agar ada musyawarah untuk mencapai mufakat. Termasuk mencari jalan keluar untuk mencapai kompromi. Jika tidak, maka bisa terjadi konflik.

“Konflik tersebut terjadi ketika seseorang atau kelompok mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain,” kata Direktur Indonesia Public Institute (IPI) tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini