Awas Mencium Bau Busuk, Gejala Baru Covid-19 yang Menghantui Penderita Jangka Panjang

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Ketika awal kemunculannya, anosmia dijadikan sebagai salah satu gejala Covid-19. Gejala ini menyebabkan kehilangan kemampuan untuk mencium atau mengecap bagi penderitanya karena virus tersebut telah merusak jaringan ujung saraf di hidung mereka.

Seiring dengan berjalannya waktu, saraf-saraf tersebut dapat tumbuh kembali dan bisa menyebabkan parosmia, distorsi penciuman yang menyebabkan gangguan penciuman.

Menurut Dr Anton Sony Wibowo, Dokter Spesialis THT di RS UGM, penderita parosmia mencium bau yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, penderita akan mencium bau busuk dari bunga mawar. Padahal, bunga ini seharusnya berbau harum.

Anton menjelaskan persepsi bau bagi para penderita parasomnia disebabkan oleh berbagai hal antara lain virus, infeksi saluran pernapasan atas, cedera kepala, atau gangguan otak seperti tumor otak.

Spesialis THT ini mengatakan jika gejala parosmia cukup umum terjadi pada penderita Covid-19 di luar negeri. Bahkan, beberapa penelitian di luar negeri melaporkan kejadian parosmia berkisar antara 50,3 – 70 persen. Kendati demikian, belum banyak penelitian terkait gejala ini di Indonesia.

Dilansir dari laman Sky News, Prof Nirmal Kumar, Ahli Bedah THT Inggris, mencatat bahwa di antara ribuan pasien jangka panjang dengan anosmia, beberapa diantaranya akan mengalami parosmia.

Menurutnya, pasien dengan parosmia akan mengalami halusinasi penciuman dan penderita lebih banyak mencium aroma tidak sedap. “Ini sangat mengganggu pasien. Kualitas hidup mereka pun sangat terpengaruh akan hal ini” katanya.

Seorang penderita Covid-19 dengan parosmia menggambarkan bagaimana hidupnya telah berubah karena penyakit ini. Ia adalah perempuan berusia 44 tahun bernama Sarah Govier dari Kent, Inggris.

Bahkan, ibu dari satu anak ini telah kehilangan banyak berat badannya. Ia mengungkapkan jika semua makanan berbau busuk. Contohnya, kopi yang memiliki bau seperti asap mobil dan rasa daging sama dengan sabun.

Ia pun menyamakan jika bau parfum dan shampoonya seperti empedu. Juga, rasa pasta giginya lebih mirip dengan bensin dibandingkan dengan mint.

Dalam beberapa kasus, parosmia dapat diobati jika disebabkan oleh hal-hal tertentu seperti merokok, pengobatan kanker, dan faktor lingkungan. Kemampuan dalam mencium akan normal kembali setelah pemicunya dihilangkan.

Beberapa penderita parosmia pun mengatakan jika gejalanya mereda karena melatih indera penciumannya melalui berbagai aroma. Meski demikian, pemeriksaan dokter sangat dianjurkan untuk mengobati gejala tersebut.

Sebetulnya, parosmia tidak bersifat permanen. Neuron akan membaik seiring berjalannya waktu. Dalam kasus virus Covid-19, indra penciuman akan kembali normal tanpa pengobatan. Tapi, pemulihan tersebut membutuhkan waktu antara 2 hingga 3 tahun.

Walau begitu, parosmia dianggap sebagai pertanda baik dalam kasus Covid-19. Sebab, hal ini menunjukan jika indera penciuman telah kembali. Menurut Justin Turner, Direktur Media Vanderbilt University, sebetulnya gejala ini merupakan pertanda baik karena menunjukan adanya regenerasi dalam jaringan penciuman dan akan menjadi normal kembali.

Reporter: Diani Ratna Utami

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini