Pajak di Indonesia Masih Lebih Rendah Dibanding Negara Tetangga

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Semua pihak sepakat, tak ada suara protes dan interupsi. Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar pun mengetok palu tiga kali. Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pun resmi mendapat pesetujuan  DPR per Kamis 7 Oktober 2021. Tinggal menunggu waktu Presiden Jokowi mengesahkannya menjadi UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Semula RUU ini namanya RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Dalam perjalanannya, pihak pemerintah mengajukan sejumlah perubahan, baik pada segi konten maupun namanya. Hasil akhirnya adalah UU tentang HPP ini terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. Dalam waktu dekat UU tentang HPP ini mendapat pengesahan presiden dan mulai berlaku sejak awal 2022.

Menkeu Sri Mulyani mengatakan dengan lahirnya UU tentang HPP 2021 itu pemerintah memiliki peluang menambah penerimaan pajak. Besarnya Rp 139,3 triliun pada 2022. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022 pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.510 triliun. Dengan adanya UU HPP penerimaan perpajakan bisa mencapai Rp 1.649,3 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan pula bahwa dengan peningkatan potensi penerimaan perpajakan itu, maka tax ratio bisa mencapai 9,22% pada 2022. Sementara jika tak ada pemberlakuan UU HPP, rasio pajak tahun depan hanya mencapai 8,4% dari PDB. Perubahan tarif pajak yang sekaligus berlaku pada sejumlah komponen pajak membuat pemberlakuan UU-HPP itu sebagai kebijakan sapu jagat perpajakan.

Toh, Menkeu menggarisbawahi bahwa tax ratio di Indonesia masih terlalu rendah, dan dengan UU yang baru itu ia bisa bergerak membaik. Setidaknya pada 2025 tax ratio bisa tembus 10,12% terhadap PDB.  Sri Mulyani menekankan, peningkatan rasio perpajakan tersebut juga akan bareng dengan adanya core tax system yang berguna menunjang upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dari otoritas pajak.

”Basis perpajakan di Indonesia akan lebih luas dan kuat. Namun, tetap berpihak kepada kelompok yang tidak mampu. Ratio perpajakan akan meningkat lagi seiring pemulihan ekonomi dan UU HPP,” kata Menkeu.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menggarisbawahi, potensi tambahan penerimaan perpajakan itu muncul karena ada beberapa klausul penting dalam UU HPP yang bakal  terimplementasi di 2022. Misalnya, ketentuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11%, dari yang berlaku saat ini sebesar 10%, akan berlaku resmi per 1 April 2022.

Ketentuan lainnya, program pengungkapan sukarela wajib pajak pada 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022. Kemudian, terkait penambahan layer pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sebesar 35% atas penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dan tarif PPh Badan yang tetap 22% berlaku pada tahun pajak 2022, alias awal tahun depan.

Perubahan

Dengan pengesahan UU HPP ini, lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang akan terkena tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen naik menjadi Rp 60 juta dari yang sebelumnya Rp50 juta. Di sisi lain, pemerintah mengubah tarif dan menambah lapisan (layer) PPh orang pribadi 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Perubahan-perubahan ini untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah. Ketentuan pada UU HPP menetapkan tarif  PPh Badan sebesar 22 persen di  tahun pajak 2022 dan seterusnya, sejalan dengan tren perpajakan global.

Tarif itu lebih rendah dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN (22,17%), negara-negara OECD (22,81%), negara-negara Benua Amerika (27,16%), dan negara-negara G-20 (24,17%).  RUU HPP mengatur perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan pengecualian atas  fasilitas PPN. Terhadap barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya akan mendapat fasilitas bebas PPN.

Untuk tarif tunggal PPN kenaikannya bertahap, yaitu menjadi 11 persen per 1 April 2022 dan jadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang  belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Jika secara global, tarif PPN Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%, Filipina (12%), Tiongkok (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%).

Dalam UU HPP juga ada terobosan baru, yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi akan lebih memudahkan para wajib pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Penggunaan NIK tak berarti semua WNI wajib membayar PPh. Melainkan tetap saja memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk pembayaran pajak. Yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini