Keturunan Yahudi di Indonesia Berasal dari Belanda

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Orang-orang Yahudi menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Penyebaran mereka karena saat itu Belanda menjajah Indonesia sehingga banyak sekali orang-orang Yahudi yang juga datang dan menetap di Indonesia.

Laporan BBC menyebutkan meski jejak kaum Yahudi cukup banyak di Indonesia, namun sampai saat ini hanya ada satu sinagoga di Indonesia yaitu di Sulawesi Utara. Namanya Sinagoga Shaar Hashamayim, terletak di Tondano Barat Sulawesi Utara

Di Sulawesi Utara, keturunan Yahudi Belanda leluasa mempraktekkan ajaran agama mereka secara terbuka sebelum kemerdekaan 1945. Namun setelah itu banyak yang pindah agama menjadi Kristen atau Islam. Alasannya adalah untuk keamanan.

Di Manado, Rabbi Yaakov Baruch berusia sekitar 40 tahunan baru mengetahui dirinya memiliki darah Yahudi dari nenek dari ibunya ketika masih SMA. Kakek buyutnya dari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda.

Kakek buyut Rabi Yaakov yang bernama Toar Palilingandari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda.
Kakek buyut Yaakov yang bernama Toar Palilingandari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda.

Dalam perjalanan ke Belanda dan Israel, Yaakov mengetahui dirinya keturunan van Beugen yang merupakan penganut Yahudi Ortodoks. Yahudi menganut matrilineal yang mengakui garis keturunan ibu. Namun, sejak lama keluarga ibunya telah pindah dari agama Yahudi ke Kristen.

Kakek buyut Yaakov yang bernama Toar Palilingandari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda. Yaakov kemudian mempelajari agama Yahudi di Singapura, dan bekal itu yang membuat dirinya yakin untuk memimpin peribadatan di sinagoga di Sulut.

Selain Yaahov, seorang warga Jakarta juga mengklaim sebagai warga keturunan Yahudi. Namanya Elisheva Wiriaatmadja. Ia kembali menganut agama nenek moyangnya, setelah bertahun-tahun menjalani pencarian spiritualitas.

Elisheva mengatakan salah satu yang membuatnya kembali ke ajaran Yudaisme adalah nubuat dalam kitab suci Torah menyatakan bahwa keturunan Yahudi yang hilang akan kembali. ”Jadi mereka akan kembali lagi pulang ke agama, bahkan ke tanah mereka,” kata Elisheva.

Elisheva dibesarkan dalam keluarga dengan ayah yang seorang Muslim dan ibunya beragama Kristen. Beruntung ia bebas memilih agama ketika dewasa.

Meski awalnya menganut agama ibunya, lebih dari 10 tahun lalu Elisheva mulai melakukan pencarian spiritual. Setelah dia mengetahui ada darah Yahudi mengalir di tubuhnya dari garis keturunan ayahnya dia pun mulai mencari dan mempelajari agama Yahudi.

“Pertama yang kelihatan itu karena bapak tampangnya kebule-bulean dikira keturunan Belanda, lalu sekeluarga pernah melakukan tes DNA dan ternyata ayah keturunan Eropa Timur, dan Yaman dari garis ibu,” jelas Elisheva.

Elisheva pun sempat mengunjungi makam leluhurnya yang seorang Yahudi di Cirebon, namun sudah rusak tak terurus. Dia kemudian menemukan data mengenai makam dan data moyangnya yang keturunan Yahudi di Jewish History Museum di Belanda.

Sementara silsilah keluarga ibunya yang berasal dari Timur Tengah tidak terlacak karena minimnya dokumentasi. Elisheva memutuskan menganut Yudaisme melalui konversi resmi di Australia.

Berbeda dengan Yaakov dan Elisheva yang memiliki darah Yahudi, Manuel Sadonda (34 tahun) bukan keturunan Yahudi.

Dia mengaku berpindah agama dari Kristen ke Yudaisme sejak tiga tahun terakhir karena merasa terpanggil.

“Berawal dari rasa penasaran terhadap kitab suci, lalu menemukan Yudaisme dan saya merasa nyaman memeluk Yahudi,” kata Manuel usai beribadah di Sinagoga Shaar Hashamayim.

Menurut Elisheva, ada sekitar 200 orang Yahudi yang menganut Yudaisme secara terbuka, dari ribuan orang keturunan yang tersebar di Indonesia.

Kehadiran orang Yahudi ke Indonesia memiliki sejarah panjang dan mereka datang dalami tiga gelombang. Romi Zarman peneliti sejarah Yahudi di Indonesia. Kepada BBC ia mengatakan, ”Kehadiran orang Yahudi di negeri ini pertama-tama karena dorongan motivasi ekonomi berdagang, namun pada abad ke-16, dalam era Portugis, kehadiran Yahudi juga dilengkapi aspek lain di mana Politik Inkuisisi di Spanyol telah membuat Yahudi terusir,” ujar Romi.

Kelompok ini menurut Romi bermigrasi di antaranya ke Asia. Kelompok ini ditemukan berdiam di Malaka. Gelombang kedua kedatangan orang Yahudi ke Indonesia terjadi pada 1602 sampai masa kolonial Belanda pada 1819.

Menurut Romi, sebagian besar mereka merupakan Yahudi Separdi, yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dan menjadi penerjemah bagi perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indsich Compagnie (VOC) dan British East India Company (EIC), terutama di Aceh dan Banten.

”Sementara, Yahudi Askenazi (Eropa Timur) kebanyakan berkerja sebagai administrator dan ada yang tergabung dalam barisan serdadu VOC, adapun Yahudi Mizrahi (Timur Tengah) giat dalam bisnis dan menjalin kerjasama dengan siapa saja,” kata Romi.

Dalam penelitiannya, Romi bertemu dengan salah seorang keturunan Yahudi Arab dan menemukan mereka berkontribusi dalam penyebaran agama Islam di Nusantara.

Dalam catatan Romi, pada awal 1920an, orang-orang Yahudi ini antara lain tersebar di Kutaraja, Padang, Medan, Deli, Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya. Jejak peninggalan mereka saat ini masih dapat dilihat dari makam beraksara Ibrani seperti di Peucut Aceh, TPU Pertamburan Jakarta, Kembang Kuning Surabaya dan Manado.

”Komunitas Yahudi Surabaya adalah model terbaik dalam sejarah Yahudi di negeri ini. Upaya-upaya pembangunan Sinagog oleh Komunitas Yahudi Surabaya sudah dimulai sejak tahun 1923, jauh sebelum didirikannya Vereeniging voor Joodsche belangen in Nederlansch-Indie (Perhimpunan Yahudi di Hindia Belanda),” kata Romi.

Sementara di Surabaya, pasangan suami istri Eli dan Florence Dwek yang menghabiskan masa anak-anaknya di Surabaya, menyebutkan pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka pada komunitas Yahudi. Mereka dapat menikmati kehidupan yang mewah

Ayah Eli yang berasal dari Yerusalem bermigrasi ke Hindia Belanda pada 1920 untuk menemani kakaknya yang menikah dengan seorang Yahudi di Surabaya. Namun kehidupan mewah itu terhenti setelah meletusnya Perang Pasifik. Ketika itu banyak orang Yahudi di Surabaya dipenjara dan dijebloskan ke kamp oleh tentara Jepang.

Setelah Jepang kalah dari pasukan sekutu di akhir Perang Dunia II, para tahanan termasuk orang-orang Yahudi di Indonesia bebas.

Pasukan sekutu juga mengembalikan properti dan bisnis komunitas Yahudi di Surabaya, meski begitu banyak dari mereka pindah ke negara lain diantaranya Australia. Dalam kondisi hamil, Ibu Eli kembali ke Yerusalem dan melahirkan Eli pada 1946. Ketika berusia tiga tahun dan situasi telah kembali aman, Eli dan ibunya kembali ke Surabaya.

Di masa kecil di Surabaya, Eli mengatakan seringkali merayakan pesakh dan Rosh Hashana dengan makan malam di kediaman Charlie Mussry yang merupakan pemimpin komunitas Yahudi Irak di Surabaya. Di kediaman Mussry pula seringkali digelar acara perkawinan Yahudi.

Pada 1949, komunitas Yahudi membeli sebuah rumah di Jalan Kayun, yang diubah menjadi sinagoga satu-satunya di Indonesia.

“Sinagoga kami merupakan pusat dari kehidupan sehari-hari orang Yahudi- anak-anak dan orang dewasa belajar Torah, menjalankan ibadah Sabat, berkumpul di sebuah Sukkah, dan bersenang-senang dalam pesta kostum Purim,” kata Eli dalam buku The Demise of the Jewish in Surabaya.

Namun, menurut Eli kehidupan komunitas Yahudi di Surabaya kembali berubah sejak Israel menguasai Semenanjung Sinai 1956.

Ayah Eli terpaksa menutup tokonya karena khawatir adanya perusakan dan untuk keamanan dirinya. Dalam catatan Eli dan Florence, situasi memburuk ketika Presiden Soekarno mengobarkan semangat nasionalisme dan membuat warga Eropa banyak meninggalkan Indonesia.

Dua tahun kemudian, ketika berusia 12 tahun, Eli dan keluarga Dwek pun meninggalkan Indonesia untuk pindah ke Israel. Sementara Florence Judah dan keluarganya pindah ke AS. Setelah dewasa Eli Dwek bertemu Florence Judah di Israel dan menikah di Los Angeles AS.

Konflik Israel-Palestina dianggap menjadi salah satu yang menumbuhkan sentimen anti Yahudi di Indonesia. Pada 2009, Sinagoga Beith Shalom di Surabaya sempat menjadi sasaran protes dari kelompok garis keras menyusul perang di Gaza pada 2008-2009 lalu.

Dalam survei nasional ‘Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslimin Indonesia, yang dilakukan Wahid Institute pada 2017, Yahudi berada di urutan ketiga sebagai kelompok yang paling tidak disukai, setelah komunis dan LBGT.

Meski begitu saat Abdurahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai presiden keempat, situasi politik dan sosial lebih terbuka. Keturunan Yahudi pun mulai terbuka mengenai jati dirinya.

“Di zaman itu banyak keturunan Yahudi mulai keluar ‘dari persembunyiannya’ salah satunya David Abraham pengacara keturunan Yahudi Irak, mulai bicara ke publik bahwa saya Yahudi,” jelas Elisheva.

Setelah kembali ke Yudaisme, Elisheva selalu terbuka pada setiap orang mengenai identitasnya, dan dia mengaku tidak pernah mendapatkan pandangan negatif dari orang-orang di Indonesia ketika menyebut dirinya seorang Yahudi.

Situasi tersebut membuat keturunan Yahudi kembali saling terhubung. “Mulai ada perkumpulan dari situ kita cari rabbi untuk mengajar ke sini, ” kata Elisheva.

Terakhir, Elisheva mendatangkan seorang rabbi untuk mengajar umat Yahudi dan membawa gulungan Torah ke di Papua.

Ketika sejumlah keturunan Yahudi mulai membuka identitasnya dan kembali ke agama nenek moyang mereka, pada 2013, sinagoga di Surabaya kemudian dijual oleh salah seorang anggota keluarga dan dihancurkan untuk dijadikan bangunan lain.

Pada Oktober 2010, sejumlah warga keturunan Yahudi membentuk  United Indonesian Jews Community. Komunitas ini dipimpin oleh Benjamin Verbrugge. Ia memperkirakan hampir 2000 orang Indonesia keturunan Yahudi tersebar merata di seluruh Tanah Air.

Reporter: BBC/Azzura Tunisya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Resmi Jadi Kader NasDem, Sutrisna Wibawa bakal Bersaing Ketat dengan Bupati Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa, telah resmi bergabung sebagai kader Partai Nasional Demokrat (NasDem). Hal ini jelas memperkuat dinamika politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunungkidul 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini