Buku yang Mengubah Peradaban Dunia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Alexander the Great sejak kecil sudah dididik akan menjadi pemimpin Makedonia menggantikan ayahnya Raja Filipus II. Ia dilatih cukup keras oleh guru-guru berpengalaman untuk berperang, memimpin pasukan hingga mengambil keputusan.

Alexander the Great dididik oleh filsuf Aristoteles, dan pengaruhnya dapat terlihat pada bagaimana para pemimpin militer menangani diplomasi dan strategi perang.
Alexander the Great dididik oleh filsuf Aristoteles, dan pengaruhnya dapat terlihat pada bagaimana para pemimpin militer menangani diplomasi dan strategi perang.

Saat dia beranjak dewasa, ayahnya meninggal. Alexander langsung ditunjuk untuk menggantikan ayahnya. Kaget karena belum siap, Alexander sempat bingung saat tiba-tiba dia harus memastikan keamanan kerajaannya dari serangan negara tetangga, terutama mengatasi Persia yang sering menganggu negaranya.

Untungnya Alexander memiliki senjata tambahan; buku Illiad karya Homerus. Guru Alexander, filsuf Aristoteles memaksa Alexander untuk membaca buku tersebut.

Dan terbukti, belajar dari buku tersebut, Alexander bisa mengatasi itu semua dan tidak hanya itu,  dia melanjutkan mimpi sang ayah untuk menaklukkan wilayah yang membentang dari Mesir hingga ke India.

Alexander malah membawa buku itu kemana-mana saat menaklukan wilayah-wilayah di luar Yunani. Selama masa penaklukkannya, dia tidur di samping buku itu.

Pengaruh Illiad kepada Alexander memang cukup besar. Karena merasa terinsipirasi dari buku epos tersebut, Alexander membalas jasa sang pengarangnya Homerus dengan menjadikan bahasa Yunani sebagai bahasa wajib di semua wilayah yang didudukinya. Hal ini membuat kebudayaan Yunani menyebar dengan cepat dan mempengaruhi peradaban dunia.

Illiad pun menjadi bacaan wajiib yang dibaca oleh semua orang yang berada di wilayah tersebut. Di wilayah lain, buku Epic of Gilgamesh dari Mesopotamia membentuk peradaban Sumeria. Atau Suku Maya dan Aztec di Amerika punya karya Mayan Popol Vuh.

Karya-karya sastra itu akhirnya menjadi titik referensi umum untuk seluruh budaya, mengembangkan kultur budaya termasuk memberitahu darimana asal muasal mereka.

Namun tidak semua tradisi literasi berawal dengan karya sastra.  Di Cina yang membentuk peradaban justru nyanyian dan puisi-puisi.

Puisi-puisi sederhana ini menghasilkan banyak interpretasi dan komentar. Walau terlihat sederhana, puisi membentuk salah satu dari novel besar pertama di dunia sastra, The Tale of Genji karya Murasaki Shikibu. Diketahui, di dalam novelnya itu terdapat hampir 800 puisi.

The Tale of Genji karya Murasaki Shikibu dianggap sebagai novel modern pertama di dunia,
The Tale of Genji karya Murasaki Shikibu dianggap sebagai novel modern pertama di dunia,

Beruntung, seiring jalannya waktu buku Lilliad dan Tale of Genji dapat dibaca dengan mudah oleh orang banyak. Hal tersebut karena mulai banyaknya pembuatan kertas dan produksi mesin cetak kala itu. Perkembangan itu awalnya terjadi di negara Arab yang telah memperoleh cara pembuatan kertas dari Cina. Tidak butuh waktu yang lama, mereka pun mengubahnya menjadi industri yang berkembang pesat. Sejak saat itulah, kisah kisah yang sebelumnya diceritakan secara lisan dibuat menjadi tertulis, dan dikumpulkan dalam buku seperti Kisah Seribu Satu Malam.

Berbeda halnya dengan kisah epos tua atau koleksi puisi, buku itu berisi hiburan dan pendidikan yang dibingkai oleh cerita tentang Scheherazade. Bergeser sedikit ke bahasa Italia, alat komunikasi itu muncul berkat penyair bernama Dante Alighieri. Awal mulanya ia hanya membuat sebuah buku berjudul The Divine Comedy dalam dialek lisan Tuscany. Namun, dari dialek tersebutlah dirinya dapat menciptakan bahasa Italia. Itu artinya karya sastra dapat memberi pengaruh yang besar dalam membentuk bahasa.

Merujuk kembali kepada munculnya mesin cetak, kala itu Johhanes Guterberg mampu menyebarluaskan produksinya di tanah Eropa. Berkatnya, penulis dan pembaca mulai bermunculan untuk mengembangkan karya sastra. Bukan hanya itu mesin cetak juga berguna untuk mengawasi dan menyensor karya sastra.

Pemusnahan Buku di Zaman Hitler Nazi
Pemusnahan Buku di Zaman Hitler Nazi

Meski begitu, keberadaannya menjadi masalah besar bagi penulis di bawah rezim totaliter seperti Nazi di Jerman. Mereka memusnahkan banyak buku-buku berkualitas. Sayangnya, kini internet berpotensi untuk mengubah cara masyarakat membaca dan menulis, dimana catatan tentang dunia pasti akan berubah lagi.

Reporter : R Al Redho Radja s

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Jadi Duta Komunikasi WWF, Cinta Laura Ajak Generasi Muda Peduli Krisis Air

Bali – Duta Komunikasi World Water Forum (WWF) ke-10 Cinta Laura mengajak generasi muda untuk lebih peduli pada persoalan...
- Advertisement -

Baca berita yang ini