Jejak Thomas Stamford Raffles yang Menggugah Kebesaran Jawa

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kiprah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1816) cukup besar. Ia tak cuma perpanjangan tangan Inggris di Indonesia. Raffles adalah pesona. Raffles yang kala itu berusia 30 tahun berhasil menyakinkan kongsi dagang Inggris, East India Company (EIC) bahwa Jawa adalah “Tanah Harapan.” Pada saat yang sama, minatnya terhadap ilmu pengetahuan sedang meninggi, terutama dalam dunia kepurbakalaan dan sejarah kuno Indonesia.

Raffles lahir di atas kapal budak “Ann” pada 6 Juli 1781. Tak pernah ada yang meramalkan garis hidupnya akan menjadi seorang intelektual berpengaruh. Kebesaran seorang Raffles terendus sejak dirinya berusia 14 tahun. Di masa remaja itu, Raffles harus menggantikan peran ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.

Raffles bekerja keras dalam pengabdiannya kepada EIC. Ia tahu ada ibu dan empat saudara perempuan yang harus dihidupi. Raffles memang putus sekolah. Tapi tak berarti ia berhenti mempelajari banyak hal. Lingkup ilmu yang dipelajari Raffles pun cukup luas sampai menyentuh perihal sains, bahasa, dan sejarah.

Singkat cerita, ketertarikan Raffles pada pengetahuan makin jadi kala berteman dengan John Casper Layden. Perkawanan itu dimulai saat Raffles menjadi Asisten Sekretaris Gubernur Penang (Malaysia) pada 1805. Dikutip Tim Hannigan dalam buku Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015), dari pertemanannya dengan Layden itulah Raffles terkesan dengan pengetahuan dan khazanah berpikir Leyden tentang Hindia-Belanda.

Buktinya, makin hari intensitas diskusi antara Layden dan Raffles makin masif. Mulai dari diskusi kisah filsafat timur, perlahan-lahan mulai menyentuh tradisi sastra Asia yang sesulit dan serumit filsafat Yunani. Alhasil, dengan cepat Raffles dapat mengasah pengetahuan akan bahasa Melayu dan mencoba memelajari sejarah setempat.

“Pasti juga ada pembicaraan santai tentang proyek yang sering dibahas namun lama tertunda untuk merebut permata mahkota VOC, Jawa itu sendiri. Namun dalam percakapannya dengan John Layden lah Raffles pertama kali memikirkan Jawa sebagai Tanah Harapan. Tempat di mana seluruh mimpi kejayaannya pada akhirnya bisa terwujud,” ungkap Tim Hannigan.

Pada akhirnya, mimpi Raffles menginjakkan kaki ke bumi Nusantara pun terwujud. Lord Minto, atasan Raffles memang memiliki niat untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa pada 1811. Sebagai bentuk keseriusan, 12 ribu angkatan perang diterjunkan ke Batavia melalui pelabuhan Cilincing.

Angkatan perang Inggris kala itu terdiri dari resimen Eropa dan India yang hampir sama besar. Dalam beberapa hari, kompeni takluk di bawah resimen itu. Demi mengukuhkan kemenangan atas Hindia-Belanda, bendera Inggris langsung dikibarkan di pinggir wilayah laut Batavia. Saat itu pula secara resmi Lord Minto mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di bawah panji kekuasaan Inggris.

Selama menjadi orang nomor satu di Hindia-Belanda, Raffles pun meninggalkan jejak dengan membagi Jawa menjadi 16 keresidenan yang hingga Indonesia merdeka pun masih diterapkan.

Raffles juga lagi-lagi belajar hal baru. Ia menekuni adat istiadat, bahasa setempat, hingga memelajari pengetahuan alam serta sejarah Tanah Harapan.

Raffles juga memelopori pendirian museum dan perpustakaan di Batavia. Di kalangan opsir tentara Inggris, muncul perkumpulan sandiwara yang sering pentas di Rumah Komedi Bambu. Pada tanggal 7 Desember 1821, bekas Rumah Komedi Bambu diresmikan menjadi Gedung Kesenian Pasar Baru (Schouwburg). Kemudian menjadi City Theatre dan terakhir Gedung Kesenian.

Oleh sebab itu, banyak orientalis, terutama dari kalangan Belanda mengakui peran Raffles dalam pengembangan studi tentang Indonesia. Apalagi, dengan diterbitkannya mahakarya Raffles, The History of Java pada tahun 1817.

Tak main-main. P. Swantoro, dalam bukunya, Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002) mengungkap, meski masa pemerintahan Raffles di Hindia-Belanda relatif singkat, namun cukup berkesan dan menentukan. Berkat pria berkebangsaan Inggris itulah muncul perhatian dunia yang kuat kepada Inheemse Indie (Hindia Pribumi).

“Ia mendorong (lembaga kebudayaan) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen aktif kembali. Ketika itu kehidupan lembaga ini sedang merana. Raffles mengupayakan bangkitnya studi bahasa dan etnologi. Ia sendiri berusaha mendalami sejarah dan budaya Jawa, yang antara lain menghasilkan karyanya The History of Java, sejarah Jawa, terbit pada 1817,” tulis P. Swantoro.

Atas buku itulah Raffles mendapat banyak pujian. Sejarawan Belanda, Peter Boomgaard adalah satu di antaranya. Menurut Boomgard dalam bukunya, Aangeraakt door Insulinde (1992), The History of Java karya Raffles adalah suatu penemuan yang tak terduga dan paling mengesankan.

“Akhirnya saya berurusan dengan sesuatu yang dikisahkannya. Dan setiap kali saya berurusan dengan sesuatu yang berkaitan abad 19, maka saya selalu mengecek dulu apa yang ditulis oleh Raffles mengenai masalah itu,” Boomgaard.

Boomgaard menambahkan pandangannya bahwa Raffles sebenarnya adalah seorang antropolog ketimbang pegiat sejarah. Apalagi, buku History of Java tampak menyajikan banyak hal. Lebih dari sejarah. Buku ini diakui sebagai suatu ensiklopedi yang mampu memberikan gambaran terkait kekayaan tersembunyi yang dikandung bumi Nusantara.

Lewat The History of Java, orang-orang mendapatkan gambaran lebih lengkap soal Pulau Jawa, mulai dari iklimnya, penduduknya, peninggalan masa silamnya, hingga sejarahnya, tentu saja. The History of Java kemudian menjelma jadi kombinasi menawan deskripsi ilmiah apologi dan apa yang di zaman modern disebut “pelaporan cerdas”.

“Tapi memang karya Raffles jauh lebih mudah dibaca dan ditulis dengan lebih baik dibanding tulisan para pendahulunya (Francois Valentijn, George Rumphius, dan Justus Heurnius). Dan dia (Raffles) menuliskan karyanya dengan simpati besar pada penduduk asli Indonesia yang dalam sebagian besar karya-karya sebelumnya sayang sekali tidak ada,” ungkap Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Dari posisinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Raffles barangkali memang tak berhasil membersihkan problema yang ditinggalkan Belanda. Namun, Raffles justru jadi orang yang mampu membawa angin segar kepada Hindia-Belanda, termasuk memperkenalkan Candi Borobudur kali pertama kepada dunia. Borobudur hampir mustahil dapat dilihat hingga hari ini tanpa campur tangan Raffles.

“Rerentuhan di tempat-tempat ini, Brambanan (Prambanan) dan Boro Bodo (Borobudur), merupakan karya seni besar yang mengagumkan. Luasnya, wilayah yang berisi bangunan, yang di beberapa bagian tertutup oleh tumbuhan rimbun, bagian-bagian dari bagunan yang ditata dengan anggun dan halus, banyaknya jumlah patung serta pahatan tokoh-tokoh yang mengiasi bangunan, semua itu menggugah keheranan kita mengapa reruntuhan ini tidak sejak dulu diperiksa, digambar, dan diberi penjelasan,” tertulis sebagai cerita Raffles sendiri dalam buku The History of Java.

Ketertarikan akan budaya, sejarah, dan karya seni itulah yang membuat Raffles semakin bersemangat mempelajari bahasa Jawa. Kiranya, Raffles adalah gubernur jenderal Hindia-Belanda yang mau meluangkan waktu untuk belajar bahasa Jawa dan bersimpati besar terhadap kaum bumiputra. Karena itu, zaman berikutnya, Raffles lebih dikenal sebagai penulis The History of Java (Sejarah Jawa) daripada sebagai gubernur yang memperkenalkan sistem sewa tanah.

Indah Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini