Pengamat: Defisit APBN tak Selalu Buruk, Ini Alasannya

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani  mengatakan pertumbuhan penerimaan negara  tahun ini lebih lemah dibandingkan tahun lalu.

Dari sisi penerimaan pada Juli 2019 hanya mencapai 1.052,8 triliun rupiah. Pendapatan negara itu tumbuh melambat 5,9 persen dibanding Juli 2018. Alhasil, realisasi penerimaan negara itu hanya 48,6 persen dari target APBN 2019 yang mencapai 2.165 triliun rupiah.

Sementara, dari sisi belanja negara pada Juli 2019 mencapai 1.236,5 triliun rupiah atau naik 7,9 persen dibanding Juli 2018 lalu.

Imbasnya, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hingga akhir Juli 2019 cuma sebesar 183,7 triliun rupiah atau 1,14 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Apakah defisit tersebut bisa dibalik menjadi surplus di akhir tahun 2019?

Menanggapi hal ini, Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa defisit tidak selalu buruk dengan catatan masih berada di bawah aturan yang berlaku dan dimanfaatkan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Masalahnya saat ini defisit pada anggaran tidak didorong untuk memperbaiki realisasi belanja modal.

“Kalau kita lihat realisasi belanja modal dibandingkan belanja pemerintah pusat lainnya pertumbuhannya paling rendah, bahkan sampai dengan Juli 2019 tumbuh minus 10 persen. Padahal belanja modal ini memberikan efek multiplier yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi,”  kata dia kepada Mata Indonesia News, Senin 26 Agustus 2019.

Yusuf pun mengatakan bahwa tentu agak sulit membalikan defisit menjadi surplus di akhir tahun 2019.

“Jika tidak ingin dikatakan mustahil. Alih-alih surplus justru defisit di semester II nanti akan semakin melebar dari target yang sudah ditentukan pemerintah,” kata dia kepada Mata Indonesia News, Senin 26 Agustus 2019.

Yusuf pun memperkirakan defisit di akhir tahun 2019 akan berada di angka 2,0 persen hingga 2,1 persen terhadap PDB.

Kondisi surplus pada APBN, kata Yusuf, memang agak jarang ditemukan apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.

Alasannya karena saat ini Indonesia masih dalam tahap pembangunan sehingga kebutuhan belanja masih sangat besar. Di sisi lain, kemampuan menarik penerimaan belum maksimal.

“Isunya saat ini, menurut saya sebenarnya bukan mengarahkan surplus anggaran namun bagaimana memaksimalkan defisit itu sendiri untuk pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Sementara untuk realisasi penerimaan negara di akhir tahun 2019, Yusuf memperkirakan akan berada pada kisaran 1.960 triliun hingga 1.970 triliun rupiah atau cuma mencapai 91 persen dari target pada APBN 2019.

Pertimbangannya adalah kondisi lingkungan global yang belum kondusif akibat adanya perang dagang. Sehingga tumpuan penerimaan negara akan berada di ekonomi domestik.

Ia menganjurkan agar pemerintah perlu memperhatikan dan meningkatan kinerja industri manufaktur di dalam negeri, karena industri manufaktur ini menyumbang 30 persen dari total penerimaan pajak.

“Pajak sendiri menyumbang 80 persen dari total penerimaan negara,” kata Yusuf.

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini