MATA INDONESIA, JAKARTA – Mantan narapidana terorisme (napiter) bisa menjadi senjata ampuh untuk menangkal radikalisme karena bisa berperan sebagai credible voice atau suara yang terpercaya meluruskan tentang ideologi tersebut. Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menilai bahwa banyak kasus yang berhasil karena peran dari mantan napiter.
“Banyak kasus keberhasilan dalam penanganan radikalisme yang melibatkan mantan napiter terorisme,” kata Stanislaus Riyanta kepada Mata Indonesia News, Senin 8 Maret 2021.
Keberhasilan ini tidak lepas dari pengalaman mereka sebagai seorang mantan teroris yang pernah terlibat dalam berbagai aksi teror dan sudah mengetahui seluk beluk setiap perencanaan aksi.
Mereka bisa memberikan perspektif lain dari narasi-narasi propaganda atau meluruskan pemahaman yang salah tentang radikalisme dan terorisme. Selain itu, pengalamannya bisa menjadi bahan pelajaran untuk dibagikan kepada masyarakat.
“Mantan napiter mempuyai jaringan dan pengalaman sehingga bisa menjadi akses yang signifikan,” kata Stanislaus.
Salah satu contoh mantan napiter yang berhasil menjadi sosok credible voice adalah Arif Budi Setyawan. Ia memiliki peran sebagai pengirim kombatan untuk mengikuti pelatihan ke ISIS dalam rangka melancarkan aksi terorisme.
Ia mulai terpengaruh pada ideologi radikal saat mengenal pondok Pesantren Al Islam Tenggulun milik keluarga Amrozi, otak di balik peristiwa Bom Bali 2002.
Hingga pada akhirnya ia tertangkap aparat pada tahun 2014 karena terlibat dalam penyediaan senjata untuk merencanakan operasi penyerangan di Poso, Sulawesi Tengah. Momen inilah titik balik dari Arif Budi Setyawan yang semakin sadar bahwa tindakannya tidak didukung oleh banyak orang.
Akhirnya saat bebas, ia mulai berkarya dengan menelurkan buku dan novel selama kehidupannya di penjara. Tujuannya agar ia diterima kembali oleh masyarakat.
 senjata ampuhmenangkal radikalisme berperan sebagai credible voice atau suara yang terpercaya meluruskan){kind=link}