LIPI: Rasisme dan Separatisme Papua, Dua Hal yang Berbeda

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Isu rasisme Papua kembali digulirkan pasca kematian George Floyd yang memecah kerusuhan di Amerika Serikat. Padahal dua persoalan itu sangatlah berbeda.

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Adriana Elisabeth pun mengamini perbedaan itu. Diakuinya, orang Papua memang memiliki fisik dan budaya yang berbeda.

“Hal ini justru menjadi harmoni dan warna bagi Indonesia yang menjunjung tinggi semboyan Bhineka Tunggal Ika,” ujarnya dalam diskusi Webinar tentang Papua Bukan Minnesota yang diselenggarakan Mata Indonesia di Jakarta, Senin 15 Juni 2020.

Adriana lalu menjelaskan bahwa masih banyak orang Papua yang cukup nasionalis dan mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya masyarakat Papua secara sadar memilih dan menjadi bagian dari Indonesia.

“Jadi kita jangan melupakan teman-teman yang sangat Indonesia itu ya. Mereka percaya bahwa pemerintah betul-betul berusaha untuk membangun Papua,” katanya.

Adriana juga mengatakan, Papua memiliki nilai toleransi yang sangat tinggi. Misalnya jika dilihat dari sejarah penyebaran Kristen di Papua berkat jasa Sultan Tidore yang notabene Islam.

“Maka untuk mengusik kondisi Papua memakai isu agama tentu tidak bisa,” ujarnya.

Sayangnya, masih ada paradigma yang dikotomis yang tumbuh subur di Papua. Yakni ada gap yang tercipta antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua.

“Ini yang menimbulkan kekeliruan logis. Seolah-olah isu Papua itu hanya isu separatis, isu Papua merdeka, melawan NKRI harga mati. Kalau ini terus dibangun, maka akan menghambat pembangunan di Papua,” ujar Koordinator Jaringan Damai Papua Jakarta-Papua ini.

Pun ia menawarkan beberapa solusi untuk memupus permasalahan itu. Pertama, jika membahas soal kasus Floyd, maka yang perlu diketahui bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Kondisi Indonesia pun tak bisa serta merta disamakan dengan Amerika Serikat (AS).

“Demokrasi Indonesia beda dengan Amerika. Ragam masyarakatnya juga beda dengan Amerika,” katanya.

Kedua, rasisme jangan disamakan dengan separatisme. Ini harus diperhatikan betul menjelang putusan hakim yang akan dibacakan pada 17 Juni nanti.

“Kami sudah mengingatkan agar masalah di Papua perlu diselesaikan dengan baik sejak 2009. Akar persoalannya yang harus dikurangi adalah isu separatisme. Karena ini kalau dibiarkan, maka isu ‘kulit hitam’ bisa meluas hingga ke Afrika,” ujarnya.

Ketiga, harus diingat bahwa Papua adalah elemen penting dalam rumah Indonesia. Tanpa Papua, Indonesia akan terasa hampa. Maka untuk jangka pendek, komunikasi politik harus dibangun.

Pemerintah harus menjelaskan secara gamblang soal persoalan rasialisme di Minnesota dan Papua. “Ini harus jelas agar orang tidak bingung atau tergiring dengan agenda-agenda politik yang lain,” katanya.

Sementara di jangka panjang, harus ada grand policy yang jelas. Pemerintah dianjurkan untuk bisa menyelesaikan akar persoalan di Papua.

“Masalah Papua harus diclearkan. Ibarat kebakaran, saat ini kita baru padamkan asapnya, tapi bara apinya belum tersentuh,” kata dia lagi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Upaya Berantas Paham Radikalisme dan Terorisme, Aparat Keamanan Berhasil Tangkap 7 Teroris di Sulteng

Aparat keamanan Republik Indonesia (RI) terus berupaya untuk memberantas penyebaran paham radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Upaya tersebut...
- Advertisement -

Baca berita yang ini