Ini Penyebab Chechnya Sulit Lepas dari Rusia Hingga Sekarang

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Setelah Uni Soviet pecah, warga Chechnya juga mengharapkan bisa berdiri sendiri seperti 15 negara federasi yang sebelumnya bergabung menjadi Uni Soviet pada 1922.

Namun, Chechnya bukan negara federasi yang bersepakat membentuk Uni Soviet seperti Ukraina, Belarusia, Kazakhstan dan sebagainya. Sebab, Chechnya adalah bagian dari Rusia sejak era tsar di Negeri Beruang Putih tersebut.

Meski pada awalnya bangsa Chechen secara sukarela bergabung dengan Rusia, namun ketika berada di bawah pemimpin Sheikh Mansur mereka melakukan perlawanan untuk memisahkan diri sekitar tahun 1785.

Sheikh Mansur bahkan mencoba menyatukan kawasan Utara Kaukasus menjadi satu negara Islam yang merdeka dari Rusia, namun tidak pernah berhasil sampai sekarang.

Pada 1991, Chechnya nekat mendeklarasikan kemerdekaannya untuk menjadi sebuah negara merdeka. Namun, kemerdekaan itu tak diakui Rusia yang memberikan mereka status otonomi paling sederhana.

Bahkan, meski Presiden Rusia Boris Yeltsin mengakui pemisahan negara federasi lainnya, namun tidak untuk Bangsa Chechen di wilayah Chechnya yang tetap menjadi bagian dari Rusia.

Pada Agustus 1991, politisi Chechnya, Dzhozkhar Dudayev dan mantan jenderal Angkatan Udara Soviet, menggulingkan pemerintah komunis lokal Chechnya dan mendirikan negara otokratis anti-Rusia.

Presiden Yeltsin khawatir jika Chechnya benar-benar berpisah akan mendorong efek domino dari gerakan kemerdekaan di dalam Federasi Rusia. Maka, dia memerintahkan kelompok bersenjata di Chechnya terutama pendukung Duyadev untuk menyerah dan meletakkan senjata dalam waktu dua hari.

Namun, permintaan itu tidak digubris sampai Rusia akhirnya menurunkan pasukan di Grozny, ibu kota Chechnya pada 11 Desember 1994. Peristiwa itu disebut Perang Chechnya I.

Pemberontak Chechnya pun menunjukkan perlawanan di Grozny, mengakibatkan ribuan tentara Rusia tewas dan banyak warga sipil Chechnya tewas selama hampir dua tahun pertempuran.

Pada Agustus 1996, Grozny berhasil direbut kembali oleh pemberontak Chechnya setelah satu tahun kependudukan Rusia.

Setahun kemudian, pasukan Rusia meninggalkan Chechnya. Meski ada perjanjian damai yang membuat Chechnya menjadi negara merdeka de facto, namun secara de jure Chechnya secara resmi tetap menjadi bagian dari Rusia.

Kemerdekaan itu mendapat penolakan dari Rusia, karena rezim baru Federasi Rusia tidak ingin Chechnya lepas dari Moskow.

Wilayah Kaukasus Utara tersebut sangat kaya sumber daya alam dan geografis. Boris Yeltsin sebagai Presiden Rusia tahu betul pentingnya Kaukasus Utara untuk kedaulatan Rusia.

Pada tahun 1999, pemerintah Yeltsin menyerukan invasi kedua ke Chechnya setelah pemboman di Moskow dan kota-kota lain.

Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, yang saat itu sebagai pengganti Yeltsin mengatakan akan menghancurkan teroris Chechnya sekalipun itu di toilet.

Pada tahun 2000, Presiden Putin meningkatkan keterlibatan militer Rusia di Chechnya setelah pemboman oleh teroris di kota-kota Rusia berlanjut.

Dalam putaran kedua pertempuran pasca-Soviet di Chechnya, tentara Rusia telah dituduh melakukan banyak kekejaman dalam upayanya untuk menekan militansi Chechnya. Kesepakatan damai tetap sulit dipahami.

Banyak kalangan menyatakan sulitnya Chechnya melepaskan diri dari Rusia karena tidak semua bangsa Chechen sepakat membentuk negara sendiri. Sebagian warganya masih banyak yang mendukung Pemerintahan Moskow.(Annisaa Rahmah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini