Ini Kelebihan Tiga Kota yang Hari Jadinya Bersamaan

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Tiga kota ini layak kamu masukkan dalam agenda liburan. Ketiga kota yang memiliki hari jadi bersamaan itu bakal memberikan pengalaman tidak terlupakan baik kuliner maupun suasana kotanya.

1.Kota Sukabumi

Jalan Ahmad Yani Sukabumi. (wikipedia)

Nama “Soekaboemi” pertama kali digunakan pada tanggal 13 Januari 1815 dalam catatan arsip Hindia Belanda oleh Andries Christoffel Johannes de Wilde.

Dia adalah ahli bedah dan administratur perkebunan kopi maupun teh berkebangsaan Belanda (Preanger Planter) yang membuka lahan perkebunan di Kepatihan Tjikole.

Namun tidak ada yang mengetahui apakah kata yang digunakan Wilde itu bahasa Sunda atau Sansekerta. Hal yang penting diketahui keduanya berarti ‘tempat yang nyaman untuk ditinggali.’

Status Soekaboemi sebagai kota dimulai pada 1 April 1914 saat pemerintahan Hindia Belanda menetapkannya sebagai Gemeente (Kotapraja) karena populasi bangsa Eropa yang berdomisili cukup signifikan.

Hingga kini kota itu masih menjadi salah satu alternatif wisata pelancong karena letaknya di ketinggia 548 meter di atas permukaan laut atau di kaki Gunung Gede dan Pangrango.

Hal itu membuat iklim kota bersuasana sejuk dengan suhu sekitar 29 derajat celcius.

Namun sayang suasana yang ditawarkan itu sering enggan didatangi pelancong karena kondisi jalan yang macet sepanjang jalur Ciawi-Sukabumi.

Beruntung Pemerintah Jokowi mengeksekusi proyek jalan tol Bocimi yang tertunda puluhan tahun.

Meski baru selesai sebagian namun minat orang mengunjungi kota itu mulai meningkat lagi dua tahun terakhir karena tol itu itu membuat jarak kedua kota yang 106 kilometer membuat jadi dekat.

Maka mochi dan makanan serta kuliner khas Sukabumi lainnya bakal laris lagi.

2.Kota Malang

Alun-Alun Tugu Malang. (ngalam.com)

Penetapannya sebagai kota bersamaan dengan Kota Sukabumi yaitu 1 April 1914. Alasannya juga sama karena pada masa itu karena kota berhawa sejuk tersebut sudah banyak dihuni warga negara Belanda sehingga perlu pengaturan administrasi perkotaan.

Fasilitas umum yang direncanakan Pemerintah Belanda sedemikian rupa masih bisa kita lihat terutama di Jalan Besar Ijen dan kawasan sekitarnya. Bangunan di kawasan itu juga banyak berasal dari era kolonial.

Kini kota yang terletak di dataran tinggi antara 440—667 meter di atas permukaan air laut itu bukan hanya dijadikan tujuan wisata, tetapi juga tempat kuliah.

Tercatat dua perguruan tinggi negeri terletak di sana yaitu Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang (dulu IKIP).

Selain itu banyak perguruan tinggi swasta yang bagus juga bertebaran di kota itu. Salah satunya adalah Universitas Muhammadiyah Malang yang dikenal dengan Kampus Putih.

Tempat wisata umumnya berada di kawasan Batu. Tempat itu dulu dikenal dengan perkebunan apel yang luas. Selain itu beberapa wisata alam seperti Songgoriti dan air terjun Coban Rondo sering menjadi pilihan bagi pelancong.

Kini kebun-kebun itu sudah banyak menyusut karena dijadikan tempat berwisata seperti resort. Beberapa yang masih bertahan pun beralih menjadi kebun wisata di mana pengunjung bisa sendiri mengambil apel dari pohonnya langsung.

Jika sudah lapar berwisata, Malang juga banyak kuliner yang khas. Salah satunya adalah Pecel Kawi yang berlokasi di Jalan Kawi Malang dan sudah berjualan sejak 1975.

Kalau mau merasakan suasana Kolonial Belanda bertandanglah ke Toko Oen di Jalan Jenderal Basuki Rahmat Malang. Toko kue yang buka sejak 1930 itu dikenal karena es krim yang enak.

Hingga kini penampilan toko itu masih mempertahankan gaya Belanda mulai tampak depan toko hingga furniture di dalamnya.

3.Kota Blitar

Makam Bung Karno. ( noviadwicahyanti.student.umm.ac.id)

Daerah yang kini dikenal dengan Kota Proklamator itu, ditetapkan sebagai kotapraja sejak 1 April 1906.

Tanda-tanda Blitar menjadi kota yang diatur Pemerintah Hindia Belanda tampak dari rumah-rumah di pusat kota itu. Bangunan peninggalan belanda masih banyak ditemui dengan jalan-jalan yang teratur.

Letaknya yang di kaki Gunung Kelud dengan ketinggian 156 meter di atas permukaan laut membuat hawa kota itu lumayan sejuk. Suhunya berkisar antara 24 – 34 derajat celcius.

Sebelum dijuluki Kota Proklamator, Blitar juga dijuluki Kota Peta (Pembela Tanah Air).

Di kota itulah pada 14 Februari 1945 dipimpin Soeprijadi, Laskar Peta melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang untuk pertama kalinya. Tindakan itu mengilmahi timbulnya perlawanan menuju kemerdekaan di daerah lain.

Kini kota itu lebih dikenal sebagai kota Proklamator karena sejak 1979, Pemerintah Soeharto selesai membangun cungkup makam Bung Karno dengan megah.

Sejak itu geliat perekonomian Kota Blitar mulai terasa. Sebab setiap hari tanpa terkecuali makam itu dikunjungi banyak peziarah.

Padahal, sejak presiden pertama RI itu wafat, Presiden Soeharto melarang siapa pun mendekat dan menziarahi makam itu.

Sejak makam ramai dikunjungi peziarah, warga Blitar mulai mengembangkan usaha sablon kaos bertema Soekarno, hingga cindera mata lainnya yang berhubungan dengan Soekarno dan Blitar.

Selain makamnya, julukan Kota Proklamator juga beralasan karena di kota itu terdapat Istana Gebang atau lebih dikenal dengan sebutan Ndalem Gebang.

Itu adalah rumah peninggalan Belanda yang menjadi tinggal orang tua Bung Karno. Istana ini bertempat di Jalan Sultan Agung 69.

Di rumah ini pada setiap bulan Juni ramai didatangi pengunjung, baik dalam rangka peringatan hari ulang tahun Bung Karno maupun kegiatan tahunan yang diselenggarakan Pemkot Blitar, seperti Grebeg Pancasila.

Bagaimana, siap berkunjung ke tiga kota itu?

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini