Auto Tobat! Gandeng BNPT, Mantan Teroris Ini Dirikan Pondok Pesantren Unik

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Tak semua mantan teroris bakal mengulangi perbuatan radikalnya lagi. Seperti yang dilakukan Khairul Ghazali alias Abu Ahmad Yasin, yang sempat divonis enam tahun atas tindak pidana perampokan Bank CIMB Niaga pada Agustus 2010 silam.

Ghazali justru kembali ke mengabdi untuk NKRI dengan mendirikan pondok Al-Hidayah. Pondok pesantren ini termasuk satu model pondok pesantren yang terbilang unik di daerah Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Selain untuk meningkatkan kualitas pendidikan daerah setempat, tujuan Ghazali mendirikan pesantren ini untuk memutus mata rantai paham radikalisasi. Di sana, ia ingin membimbing anak-anak mantan terorisme yang kerap menjadi korban atas perbuatan keji yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.

“Melihat banyaknya anak-anak eks teroris yang tidak sekolah atau putus sekolah bahkan menjadi buruh anak, tentunya ini membahayakan karena mereka bisa jadi mengikuti jejak langkah orang tuanya yang salah,” kata Ghazali di Deli Serdang, Rabu 8 Mei 2019.

Pada awal memulai pesantren ini, Ghazali mengaku mendapatkan tantangan datang dari masyarakat setempat. Banyak dari mereka yang curiga dengan didirikannya pesantren yang menampung anak-anak mantan teroris tersebut.

Untungnya, saat memulai tahun pertama, dirinya didukung dan diberikan support oleh pihak keamanan dan negara dalam hal ini oleh BNPT (badan Nasional penanggulangan teroris). “BNPT pun langsung tertarik dengan ide-de yang kita buat, sehingga mereka membantu dengan sepenuhnya termasuk membangunkan kelas dan masjid,” kata dia.

Pondok pesantren ini hanya memiliki 25 orang santri yang merupakan anak dari eks teroris. Ditambah 6 orang anak dari masyarakat sekitar.

“Mereka sengaja kita campur tujuannya untuk pembauran agar anak anak ini tidak terstimalisasi dan tidak ada diskriminasi dalam pendidikan sehingga mereka berbaur dengan anak anak lainnya,” kata dia.

Terkait proses belajar maupun sistem pendidikan di pondok pesantren ini, Ghazali mengaku sama saja dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah lainnya yang berbasis kurikulum dari Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama (Kemenag).

Hanya saja terdapat pelajaran tambahan yaitu Deradikalisasi dan Trauma Helling Centre. Pelajaran tambahan ini bertujuan untuk menghilangkan memori ingatan anak-anak eks teroris tersebut terhadap kekerasan pasca penangkapan orang tua mereka.

“Ada juga orang tua mereka yang dibunuh, ada yang masuk penjara dan lain sebagainya. Sehingga sudah terpapar dengan paham radikal, dengan kekerasan dan dengan jihad yang salah, nah ini yang kita luruskan,” ujarnya.

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini