Home Kisah Sekilas tentang Sejarah Perkembangan Surat Kabar di Indonesia

Sekilas tentang Sejarah Perkembangan Surat Kabar di Indonesia

0
2470
(Foto: Homesteading)

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejak zaman dahulu surat kabar dijadikan sebagai sumber informasi bagi masyarakat di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, surat kabar sudah ada jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Awalnya surat kabar dijadikan sebagai alat dalam menyebarkan informasi. Namun, surat kabar beralih fungsi menjadi media perjuangan pergerakan masyarakat Indonesia di jaman penjajahan.

Belanda telah berjasa memelopori hadirnya surat kabar di Indonesia. Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Surat kabar ini hadir dalam bahasa Belanda.

Hingga akhirnya, tahun 1903 untuk pertama kalinya surat kabar dikelola oleh penduduk prisbumi. Surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji dan dipimpin oleh R.M. Tirtoadisuryo. Munculnya surat kabar ini menjadi permulaan bangsa Indonesia terjun ke dalam dunia pers.

Sedangkan di masa penjajahan Jepang, surat kabar yang terbit pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Sebagai gantinya, pemerintah Jepang menggabungkan seluruh surat kabar yang ada menjadi satu.

Aksi ini dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk memuluskan rencana mereka dalam memenangi Dai Toa Senso atau Perang Asia Timur Raya. Dengan kata lain, surat kabar sudah dijadikan alat oleh pemerintah Jepang.

Berita-berita yang dimuat pada masa itu hanyalah berita yang mendukung Jepang semata. Selain itu, untuk melancarkan rencananya, Jepang mendirikan Jawa Shinbun Kai dan lima cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia, yakni Aneta dan Antara.

Di masa ini pula muncul beberapa surat kabar harian, seperti Asia Raya (Jakarta), Sinar Baru (Semarang), Suara Asia (Surabaya), dan Tjahaya (Bandung).

Berlanjut ke masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Sepuluh hari setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden RI yang menyatakan bahwa Indonesia akan kembali sesuai dengan UUD 1945, terjadi tindakan pembredelan terhadap kantor berita Pers Biro Indonesia (PIA), surat kabar Republik Pedoman, surat kabar Berita Indonesia, dan surat kabar Sin Po yang dilakukan oleh pemerintah.

Tahun 1964, kondisi kebebasan pers semakin memburuk. Dalam kegiatannya, pers dikontrol oleh Kementerian Penerangan dan badan-badannya. Hingga tahun 1965, tidak banyak perubahan yang terjadi. Masih banyak kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengatur pemberitaan di surat kabar.

Sedangkan pada awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Tentu saja, hal ini disambut secara suka cita oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat juga mengharapkan pemerintahan Presiden Soeharto akan mengubah keterpurukan pemerintahan Orde Lama.

Pemerintahan saat itu dituntut untuk melakukan pemulihan di segala aspek, seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun, janji manis yang dilontarkan pemerintah hanya lah bualan semata.

Pada masa itu, pers masih mengalami keterbatasan dalam pemberitaannya. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila hal ini dilanggar, media tersebut langsung mendapat peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.

Pada masa Orde Baru, segala penerbitan berita surat kabar berada di bawah pengawasan pemerintah melalui Departemen Penerangan. Di masa ini, surat kabar diwajibkan memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru.

Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga fungsi sebagai pendukung dan pembela masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Padahal, pers memiliki slogan “Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab” di rezim Orde Baru. Tetapi, itu hanyalah slogan semata. Pada kenyataannya, pemerintah selalu berupaya menempatkan pers sebagai bagian yang diharapkan bisa berperan dalam menjaga stabilitas legimitasi penguasa saat itu. Hal ini yang mendasari diterapkannya berbagai kontrol terhadap pers di masa Orde Baru.

Hingga pada 21 Mei 1998, Orde Baru tumbang dan digantikan dengan era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk pers. Sejak saat itu, pers kembali menikmati kebebasannya.

Sejalan dengan kebebasan pers, muncul berbagai penerbitan di awal reformasi, seperti surat kabar, majalah, dan tabloid. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang pers dikeluarkan oleh pemerintah pada masa ini. Kalangan pers menyambut gembira.

UU ini menjamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Inilah yang menyebabkan dihapuskannya penyensoran, pembredelan, dan pelarangan bagi pers.

Media massa, terlebih surat kabar mulai menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Surat kabar harus mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan untuk disebarluaskan kepada publik.

 

Reporter: Diani Ratna Utami

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here