Peringatan Hari Sarjana Nasional dan Gelar Sarjana Muda Sosrokartono

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Banyak anak muda, terutama para mahasiswa atau yang pernah mengecap bangku kuliah mungkin tak tau kalau tanggal 29 September adalah hari bersejarah di Indonesia. Yap, hari tersebut adalah hari Sarjana Nasional.

Sayangnya hingga kini belum ada perayaan khusus untuk mengenang moment bersejarah ini. Bahkan asal usul penetapannya pun masih abu-abu.

Konon penetapan hari sarjana tersebut terinspirasi dari kisah hidup Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia adalah kakak dari Raden Ajeng Kartini.

Di masa hidupnya, Kartono menjadi orang Indonesia pertama yang berani kuliah di Belanda. Bahkan sosok kelahiran Jepara tanggal 10 April 1877 ini berhasil meraih gelar sarjana muda atau Doctorandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden dengan predikat summa cum laude. Kala itu, ia mengambil jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur.

Ia sudah sangat mahir berbahasa Belanda dan beberapa bahasa asing lainnya. Bahkan, Sosrokartono menuntaskan ujian akhirnya dengan menulis karangan dalam bahasa Jerman.

Kartono sempat berjumpa dengan Willem Rooseboom, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu. Rooseboom merupakan pencetus kebijakan Politik Etis di bawah Rezim Ratu Wilhelmina.

Sebulan setelah berjumpa dengan Rooseboom, Kartono diundang untuk menyampaikan pidato di Kongres Bahasa dan Sastra Belanda (Nederlands Taal en Letter Kunde) ke-25 di Gent, Belgia. Ia bisa diundang karena popularitasnya sebaga bumiputra dengan kemampuan linguistik yang luar biasa.

Di kongres ini, Sosrokartono mulai membangun platform untuk memperjuangkan hak-hak bumiputra (inlander) di Hindia Belanda. Ia memanfaatkan kesempatan berpidato ini untuk menyampaikan tuntutannya terhadap pemerintah kolonial Belanda agar lebih memperhatikan pendidikan kaum bumiputra.

Kartono juga menyampaikan bahwa ia akan terus memperjuangkan budaya bangsanya agar tidak tergerus oleh imperialisme. Ia menuntut agar kaum pribumi di Hindia Belanda diajarkan bahasa Belanda, agar mereka lebih mampu berkomunikasi dan mendapatkan akses terhadap pendidikan yang selama ini menjadi monopoli kaum Belanda dan bangsawan saja.

Di poin terakhir pidatonya, Kartono menyuarakan pertentangannya terhadap praktik kolonialisme dan imperialisme. Ini membuat syok negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang pada saat itu tengah berlomba-lomba dalam melakukan ekspansi kolonial ke berbagai daerah di dunia.

Isi pidato Kartono ini dimuat di berbagai surat kabar di Eropa. Hal ini membuat popularitasnya semakin melambung, karena keberaniannya dalam mengkritik negara Belanda sebagai penguasa koloni Hindia Belanda.

Ini juga menjadi pemantik bagi para bumiputra yang berangsur-angsur mendapat kesempatan yang sama untuk melanjutkan studi di Eropa. Keberanian Kartono ini menarik perhatian pemerintah Belanda pula karena ia dinilai dapat membahayakan eksistensi kolonialisme.

Kartono sempat ingin melanjutkan studinya ke jenjang doktoral di University of Leiden, namun hasrat tersebut tak kesampaian. Salah satu penyebab terbesarnya adalah adanya konflik dengan salah satu profesor di Universitas Leiden, yaitu Profesor Snouck Hurgronje. Ia menganggap bahwa bumiputra adalah kaum yang lebih rendah, tidak sejajar dengan kaum Belanda.

Saat pecah Perang Dunia I pada tahun 1914, ia mendaftarkan diri menjadi jurnalis atau koresponden perang di Eropa untuk surat kabar ternama terbitan Amerika Serikat, The New York Herald Tribune.

Sumidi Adisasmita dalam Surat-surat Wasiat Peninggalan Jiwa Besar Kaliber Internasional Drs. Sosrokartono 1877-1952 (1972) menuliskan, Sosrokartono menjadi satu-satunya mahasiswa yang lulus tes koran itu. Ia dites menerjemahkan artikel panjang dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Rusia.

Resmi menjadi wartawan perang, Kartono diberi gaji 1.250 dolar AS. Hal ini diungkapkan Muhammad Hatta dalam ‘Memoirs’. Kartono lantas disusupkan ke dalam pasukan Sekutu agar lebih leluasa bergerak. Ia diberi pangkat mayor.

Kartono terbukti mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Misalnya soal berita perundingan Perdamaian Perang Dunia ke I yang resmi berlangsung di kota Versailles (Prancis). Ia menjadi orang pertama yang mempublikasikan peristiwa bersejarah tersebut, ketika banyak wartawan masih sibuk mencari informasinya.

Tulisannya pun dimuat di koran Amerika The New York Herald Tribune dan menggemparkan Amerika dan Eropa. Kartono memakai nama ‘anonim’ dengan kode pengenal ‘Bintang Tiga’.

Setelah perang berakhir, Kartono dipercaya menjadi juru bahasa Blok Sekutu pada 1918. Setahun berselang, ia diminta Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa (cikal-bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB) untuk menjadi kepala juru bahasa.

Pada 1921, ia sempat menjadi pejabat tinggi Kedutaan Besar Perancis untuk Belanda di Den Haag, yakni sebagai atase kebudayaan. Empat tahun kemudian, Sosrokartono memutuskan pulang ke Indonesia.

Namun, kehidupan Sosrokartono di negeri sendiri justru bertolak belakang dengan saat hidup di Eropa. Banyak petinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membenci dan mewaspadainya.

Beberapa kali Sosrokartono ditawari pekerjaan di pemerintahan, namun selalu ditolaknya. Sosrokartono ingin bekerja untuk memajukan rakyat tanpa harus meminta belas kasihan pejabat kolonial.

Penolakan demi penolakan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda heran dan curiga. Sebagai tindakan antisipasi, Kartono dituduh sebagai komunis agar geraknya terbatas.

Rencananya untuk mendirikan sekolah untuk warga bumiputra pun tidak mendapatkan izin dari Belanda. Kartono kemudian berjumpa dengan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa. Ia sempat menjadi guru sekaligus kepala sekolah di Taman Siswa cabang Bandung, Nationale Middlebare School.

Ketika berada di sana, Kartono berjumpa dengan Soekarno, tokoh nasional yang kelak menjadi pejuang kemerdekaan. Dikutip dari buku Wajah Bandung Tempo Doeloe (1984) karya Haryoto Kunto, Kartono pernah dikunjungi utusan Sukarno untuk menanyakan tentang peluang Indonesia merdeka.

Kepada utusan Sukarno itu, ia mengatakan bahwa Indonesia pasti merdeka, dan itulah yang kemudian terjadi. Kartono kemudian dipercaya sebagai ahli ilmu kebatinan dan spiritual, orang yang mampu mengetahui sesuatu sebelum diberitahu.

Ia juga sempat berjumpa dengan tokoh-tokoh lainnya dari Perhimpunan Indonesia dan Budi Utomo. Namun, meski kecerdasannya dianggap berharga dalam membantu organisasi-organisasi tersebut, ia mempertahankan idealismenya dan tetap memberi kontribusi melalui pendidikan, hingga ia wafat pada 8 Februari 1952.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Upaya Berantas Paham Radikalisme dan Terorisme, Aparat Keamanan Berhasil Tangkap 7 Teroris di Sulteng

Aparat keamanan Republik Indonesia (RI) terus berupaya untuk memberantas penyebaran paham radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Upaya tersebut...
- Advertisement -

Baca berita yang ini