Perang Korea, Perpecahan Dua Negara Serumpun yang Tak Kunjung Usai

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Perang Korea berakar ketika Korea terbebas dari penjajahan Jepang pada akhir Perang Dunia II. Saat itu, setelah sekutu meruntuhkan kekuasaan Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Uni Soviet membuat kesepakatan untuk membagi Korea menjadi dua negara yang dibatasi oleh paralel ke-38.

Korea Utara menjadi negara komunis yang dipimpin oleh Kim Il Sung dan didukung Uni Soviet. Sementara, Korea Selatan menjadi negara kapitalis yang dipimpin Syngman Rhee dengan dukungan Amerika Serikat.

Lima tahun setelah pemisahan negara, pemimpin Korea Utara, Kim Il Sung memutuskan untuk mencoba menyatukan kembali Korea di bawah kendalinya. Pada 25 Juni 1950, Kim melancarkan invasi mendadak ke Korea Selatan.

Diyakini bahwa Uni Soviet mendalangi invasi yang dilakukan Korea Utara tersebut. Presiden Amerika Serikat yang menjabat kala itu, Harry Truman, beserta para penasihatnya menolak untuk membiarkan komunisme menyebar.

Dalam dua hari invasi, AS mengumpulkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyatakan dukungan terhadap Negeri Ginseng. Akhirnya, koalisi PBB yang dipimpin Paman Sam dikerahkan ke Korea Selatan.

Pada Agustus, pasukan Korut menyapu hampir seluruh Korsel. Diketahui saat itu, pasukan AS hanya memiliki garis pertahanan kecil di dekat Busan. Namun, pada September, di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur, AS melancarkan serangan balasan yang mencakup pendaratan amfibi di wilayah yang dikuasai oleh pasukan Korea Utara di pantai barat Korea Selatan. Segera setelah itu, pasukan AS mengusir Korut kembali ke perbatasan di paralel ke-38.

Presiden Truman kemudian membuat keputusan untuk melanjutkan penggempuran melintasi paralel ke-38 menuju Korea Utara. Akan tetapi, akhir November 1950, ketika pasukan AS mendekati perbatasan Tiongkok, para pemimpin komunis Tiongkok khawatir AS akan menyerang dan mengirim puluhan ribu tentara Tiongkok ke Korea Utara. Akan tetapi sebaliknya, pasukan AS kembali ke Korea Selatan dikarenakan kalah jumlah.

Beberapa bulan berikutnya, AS kembali mengirim pasukan melintasi paralel ke-38. Di saat yang sama, Presiden Truman memecat Jenderal MacArthur ketika bawahannya itu secara terbuka menentang strategi pemerintahan.

Perang antara komunis dan kapitalis itu berlangsung selama tiga tahun. Pada 27 Juli 1953, Korea Utara, Tiongkok, dan Amerika Serikat, menandatangani perjanjian genjatan senjata. Korea Selatan pada saat itu menolak pembagian wilayah menjadi dua. Meskipun pertempuran berhenti, pada dasarnya perang Korea belum berakhir.

Gencatan senjata tersebut menetapkan perbatasan untuk kedua negara yang menyebabkan adanya Zona Demiliterisasi (DMZ) selebar dua setengah mil dengan angkatan bersenjata berat yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan.

Melansir Military Times, perang Korea menewaskan hampir 40 ribu tentara AS, serta jutaan tentara dan warga sipil dari Korea Utara, Korea Selatan, dan pasukan koalisi.

Buntut peperangan itu memicu perang dingin. AS berusaha menunjukkan komitmennya yang berkelanjutan terhadap beberapa elemen kunci dari strategi perang dingin untuk Korea Selatan dengan mengerahkan sumber daya dan tentaranya dalam perang melawan penyebaran komunisme.

AS juga menegaskan komitmennya terhadap kebijakan luar negeri berdasarkan keamanan kolektif dengan memobilisasi negara lain untuk mendukung posisinya baik secara politik maupun militer.

Selain itu, AS berupaya mendemonstrasikan cita-cita yang diungkapkan dalam Doktrin Truman, yang menjanjikan dukungan bagi ‘rakyat bebas di dunia’ yang ingin menjauhkan diri dari agresi komunis. Upayanya itu membuat AS dan sekutunya berhasil mencegah komunisme mengambil alih Korea Selatan.

Hingga saat ini, Korea masih terbagi menjadi dua negara. Harapan unifikasi sempat terpantik tahun 2000 ketika kedua negara mengeluarkan deklarasi bahwa mereka akan melakukan ‘upaya bersama’ untuk menyatukan kembali dua rumpun yang terpisah.

Kemudian pada 2018, ketika kedua pemimpin negara Korea Utara dan Korea Selatan berjabat tangan dan berpelukan di perbatasan. Sayang, harapan tersebut perlahan pupus seiring peristiwa Juni 2020, di mana Korea Utara meledakkan kantor gabungan yang berfungsi sebagai kedutaan negara masing-masing.

Kendati dijuluki sebagai ‘perang yang terlupakan’ oleh warga Amerika Serikat karena kurangnya perhatian pascakonflik, perang yang meresahkan itu masih berlanjut hingga sekarang dengan urusan geopolitik yang tidak kunjung usai.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Jelang Putusan Sidang MK, Aktifis Budaya Jawa Turut Aktif Menyoroti

Mata Indonesia, Yogyakarta - Proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terus bergulir namun dinilai sarat keberpihakan. Hal tersebut terlihat dari pemohon yang tidak diperkenankan bertanya kepada para Menteri untuk memperkuat bukti dari dalil yang diajukan dan yang boleh bertanya hanyalah Hakim.
- Advertisement -

Baca berita yang ini