Neas Wanimbo, Mutiara Hitam dari Papua dan Mimpi Jadi Mendikbud

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Namanya Neas Wanimbo, seorang putra asli Papua yang saat ini menaruh perhatian besar bagi perkembangan pendidikan di Papua. Ia juga memiliki harapan agar kelak bisa mengentas buta huruf di tanah kelahirannya.

Pria kelahiran Tangma (Hipela), Kab. Yahukimo, Provinsi Papua pada 20 Juli 1995 silam ini bahkan memendam impian yang besar dalam hidupnya.

“Suatu saat saya ingin menjadi Menteri Pendidikan,” ujarnya saat bertandang ke kantor Mata Indonesia, Jumat 11 Juli 2020.

Cita-cita Neas menjadi Mendikbud bukan tanpa alasan. Ia cuma ingin agar pendidikan terserap dan tersebar secara merata di semua pelosok negeri. Dengan begitu akan memberikan kemajuan bagi Indonesia.

“Kita bisa lihat banyak daerah pelosok belum memndapat layanan pendidikan yang layak. Tak hanya terjadi di pedalaman Papua, tapi juga di Kalimantan ataupun daerah pedesaan di Pulau Jawa atau daerah lain,” katanya.

Ia bahkan menuturkan bahwa ada sebuah sekolah di pedalaman Papua yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai.

“Bayangkan saja, tenaga gurunya sudah terbatas dan mereka menjagar masih pakai kurikulum tahun 2000, padahal ini sudah tahun 2020,” ujarnya.

Saat ini, Neas tengah berjuang bersama Hano Wene, sebuah komunitas yang memiliki visi dan misi untuk mendirikan perpustakaan dan meningkatkan minat baca anak-anak Papua.

Nama Hano Wene ini punya makna khusus bagi Neas. Ia mengatakan, nama ini diambil dari bahasa setempat yang berarti Kabar baik.

“Saya berharap komunitas ini bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di pedalaman Papua yang angka buta hurufnya tertinggi di Indonesia,” katanya.

Neas memang bukan datang dari kelurga berada, namun semangat dan daya juangnya untuk sekolah patut diapresiasi.

Ia mengisahkan bahwa di kampungnya cuma ada satu sekolah namanya SD YPPGI Tangma. Waktu kecil, Neas takut ke sekolah, karena menurut cerita kakak-kakaknya guru di sekolah menerapkan metode didikan yang keras. Sang guru akan memukul dengan kayu atau rotan kalau terlambat, atau tidak bisa membaca maupun menulis dan tidak mengerjakan tugas.

“Mendengar cerita mereka buat saya sangat takut sekolah, dan pada suatu titik saya tidak mau bersekolah. Dalam pikiran, kalau saya bersekolah akan “dapat pukul”, sama seperti mereka. Jadi, saya lebih memilih untuk ikut orangtua berkebun daripada bersekolah,” ujarnya terkenang.

Hingga suatu ketika ada seorang teman yang datang memanggilnya untuk ikut bersekolah. Entah kenapa, pada hari itu ia mau ikut. “Sejak dari itu saya rajin sekali masuk sekolah,” katanya.

Neas juga mengungkapkan bahwa sejak di bangku kelas 1 SD, ia sudah bisa baca dan menulis. Soalnya saat di rumah, keluarganya sudah dibiasakan membaca Alkitab bersama sebelum beraktifitas. “Alfabet pertama yang saya hapal adalah A-L-K-I-T-A-B,” ujarnya.

Sedangkan bagi teman-teman yang lain belum bisa membaca, Neas pun dengan sukarela membantu mengajari mereka. Lantaran sekolah mereka cuma punya 1 orang guru saja yang punya tanggung jawab untuk mengasuh 6 kelas tiap harinya.

“Itu artinya, kalau dia sedang mengajar di kelas lain, saya bantu mengajar kelas 1 dan 2. Waktu itu saya mengajarkan huruf dan angka. Saya juga masih tidak berpakaian, dan masih sangat kecil,” katanya.

Seiring waktu bergulir, Neas pun menyelesaikan pendidikan SD dengan gratis. Namun, saat masuk SMP mau tak mau ia harus pindah ke kampung lain. Jaraknya dengan berjalan kaki sekitar 10-15 jam.

Waktu itu, biaya pendaftarannya Rp 80.000 dan orangtuanya tak punya uang sama sekali. Beruntung Tuhan menolongnya lewat kemurahan hati seorang teman bapaknya.

“Dia datang ke sekolah untuk bayar uang masuk anaknya. Di kampung kami, tidak ada orang lain lagi yang kami bisa pinjami selain orang itu. Hari itu, beliau memberi kami uang 100 ribu. Saya masih ingat sekali perkataannya sembari memberikan uang, “Jangan takut, uangnya Neas ada,” ujarnya.

Saat mulai sekolah, Neas pun terdorong untuk menjadi pilot. Harapannya agar bisa mengantar orang-orang ke pedalaman. Tapi karena biaya sekolah pilot mahal, maka impian itu ia kubur kembali.

“Saya pikir, kalau saya mau melanjutkan SMA dan kuliah, pasti orangtua saya tidak sanggup untuk membiayainya. Akhirnya, di tahun pertama, saya berusaha untuk ikut program lomba sekolah dengan hadiah beasiswa, tetapi gagal,” katanya.

Di tahun kedua, juga ada program beasiswa, tapi lagi-lagi Neas gagal. Ia mengaku sempat putus asa dan berniat untuk balik ke kampung saja. Namun tiba-tiba, seorang guru Penjas memanggilnya dan menawari program beasiswa lainnya. Jika lolos seleksi, saya akan dikirim ke Jayapura untuk ikut latihan angkat besi.

“Saya pikir, meskipun tidak mau jadi atlet, ini adalah satu cara untuk bisa lanjut sekolah tanpa pusing memikirkan biayanya. Dari beberapa siswa yang tes, hanya saya yang lulus,” ujarnya.

Tapi ternyata biaya beasiswa tersebut, tidak termasuk tiket pesawat Jayapura. Maka Neas pun segera pulang ke rumah lewat jalan pintas (baca: pegunungan, sungai, dan hutan) yang jarak tempuhnya 7 jam.

“Setelah berdiskusi dengan orangtua, bapak saya bangun pagi-pagi untuk cari pinjaman uang. Uang pinjaman diperoleh dari om dan kakak saya,” katanya.

Neas pun terbang ke Jayapura, terpisah dari sanak keluarganya. Di tahun pertama sekolah, ia harus kehilangan seorang ibu yang membiayai studinya selama ini. Akhirnya, ia pun terpaksa harus bekerja serabutan. Berbagai profesi mulai dari penjaga anak, kuli bangunan, tenaga instalasi listrik, servis alat elektronik hingga tukang sol sepatu dijalaninya.

“Di Jayapura, saya belajar banyak hal dan bertumbuh menjadi dewasa. Naik kelas 3, saya sadar bahwa untuk kuliah butuh biaya yang sangat banyak. Saya memberanikan diri untuk cari program-program beasiswa di beberapa instansi. Puji Tuhan, semua program yang saya ambil diterima. Saya pun memilih kuliah di Jakarta,” ujarnya.

Neas pun makin jauh dari keluarganya., usai lulus program beasiswa penuh dari Tanri Abeng University Jakarta. Meski awalnya mengalami shock culture saat tiba di Jakarta, ia akhirnya mampu menyelesaikan studinya dengan menjadi lulusan terbaik di sana.

Yang bikin miris, waktu acara wisuda ia tak didampingi oleh siapapun. “Orang tua saja, selama kuliah di Jakarta kami tidak pernah kontak sama sekali dan saya tidak pernah pulang. Jadi pas selesai wisuda baru saya balik dan bawa ijasah untuk kasih tunjuk mereka bahwa saya sudah lulus kuliah,” katanya.

Neas Wanimbo, Mutiara Hitam dari Papua dan Mimpi Jadi Mendikbud

Usai kuliah, ia pun mulai fokus dengan proyek Hano Wene. Selain itu, Neas juga pernah mendapat undangan dari berbagai acara kepemimpinan di luar negeri seperti India, Jepang, Amerika Serikat, Spanyol.

Bahkan waktu di Jepang, ia sempat ditawarkan untuk bekerja di sana. Perusahaan tersebut bersedia menggajinya dengan cukup dan diberi mobil maupun rumah. Bahkan kalau Neas ingin mengajak orang tuanya tinggal di Jepang, mereka bersedia memfasilitasi.

“Tapi saya tidak mau, saya lebih memilih pulang untuk bangun tanah Papua,” ujarnya.

Sukses selalu Neas, semoga pengalamanmu jadi inspirasi bagi segenap anak muda Indonesia!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

AMN Manado Bangkitkan Etos Pemuda Jadi Cendekia Cerdas dan Terhormat

Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN) Manado membangkitkan etos para pemuda untuk menjadi cendekia yang cerdas dan terhormat, sehingga mereka terampil...
- Advertisement -

Baca berita yang ini