Jelang Wafat Imam Bukhori Difitnah dan Diusir dari Kotanya

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kisah hidup Imam Bukhari tidak selamanya cemerlang. Masa kelam justru dialaminya menjelang wafat.

Dikisahkan pada tahun 250 H atau sekitar 864 Masehi, Imam Bukhari mengunjungi Naisabur di utara Iran.

Kedatangannya disambut gembira penduduk setempat bahkan oleh gurunya az-Zihli dan ulama lainnya.

Bahkan, pengarang kitab as-Shahih Muslim, Imam Muslim bin al-Hajjaj mengisahkan sambutan kepada Al Bukhari yang amat sangat luar biasa karena tidak pernah ada penyambutan seperti itu kepada kepala daerah.

Penyambutan bahkan dilakukan sejak 100 kilometer sebelum memasuki kota tersebut. Sang guru, az-Zihli juga menganjurkan para muridnya untuk menyambut Imam Bukhari dengan kegembiraan.

Melihat begitu antusiasmenya warga Bukhori memutuskan tinggal sementara untuk membuka pengajian mengajarkan hadist.

Namun, kehadiran Bukhari di kota itu menimbulkan hasad dan dengki sehingga sampai ada salah seorang peserta pengajian Bukhori bertanya apakah melafalkan al-Qur’an tergolong makhluk atau bukan makhluk.

Bukhari pun tidak mau menjawab pertanyaan itu, sampai tiga kali ditanyakan orang yang sama dia pun menjawab, “al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.”

Orang itu pun menyimpulkan dengan serampangan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.”

Seketika itu terjadilah kesimpangsiuran akibat kabar yang tidak jelas tersebut dan sampai ke telinga Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli, imam tokoh ulama kota itu yang juga guru Bukhari.

Muncullah ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari yang membuat warga Naisabur memilih meninggalkan majelis Imam Bukhari, kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah.

Akhirnya, Imam Bukhari memutuskan meninggalkan Naisabur untuk menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah.

Dia pulang ke kota kelahirannya Bukhara. Kedatangannya disambut meriah seluruh penduduk.

Mereka bahkan mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka.

Di Bukhara, dia tetap membuka majelis hadist. Namun, lagi-lagi fitnah mendera lagi, kali ini datang dari Penguasa Bukhara, Khalid bin Ahmad az-Zihli.

Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, dan meminta dua buah buku karangannya, al-Jami’ al-Shahih dan Tarikh.

Permintaan itu ditolaknya dan menyampaikan kepada utusan tersebut bahwa dia tidak akan merendahkan ilmu dan membawanya ke Istana Khalid. Dia bahkan meminta penguasa Bukhara mengeluarkan larangan tidak mengadakan pengajian.

Jawaban tersebut membuat Khalid naik pitam dan memerintahkan orang-orangnya untuk melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Berkat hasutan tersebut Bukhori pun diusir dari kota dan negerinya sendiri.

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya memintanya menetap di negeri mereka. Ia pun pergi memenuhi permohonan itu. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, Ia singgah karena banyak keluarganya di situ.

Namun di desa itu dia jatuh sakit hingga menemui ajalnya di malam takbiran 256 Hijriah atau 31 Agustus 870 Masehi di usai 62 tahun.

Sebelum meninggal dunia, ia berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat.

Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Kota Jogja Mulai Disorot, Heroe Poerwadi Akhirnya Diusung PAN, Budi Waljiman Dikawal Gerindra

Mata Indonesia, Yogyakarta - Persiapan untuk Pilkada pada pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jogja mulai memanas. Beberapa figur telah muncul sebagai calon potensial dari berbagai partai politik, di antaranya adalah Heroe Poerwadi dan Budi Waljiman.
- Advertisement -

Baca berita yang ini