Gubernur Aceh, Pejabat Pertama yang Ditangani KPK

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Setelah sempat vakum dari kegiatan operasi tangkap tangan (OTT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bergerak. Tak tanggung-tanggung dua menteri, beberapa pejabat, tiga kepala daerah ditangkap dan ditahan KPK.

Pujian pun mengalir kepada KPK setelah setahun lebih nyaris tidak melakukan kegiatan apa-apa.

Dalam perjalanannya KPK memang mengalami pasang surut.  Lembaga ini menjadi harapan satu-satunya memberantas korupsi setelah polisi dan kejaksaan dituding tak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap pemberantasan korupsi.

Namun sejenak menengok ke perjalanan KPK, sejak awal lembaga ini memang membidik para pejabat yang diduga melakukan praktik korupsi.

Saat berdiri tahun 2003, gebrakan pertama yang dilakukan KPK adalah membidik dan menyeret Gubernur Aceh Abdullah Puteh meja hukum.

KPK menerima beberapa pengaduan masyarakat dan laporan dari beberapa pihak mengenai dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh.

Ia melakukan praktik korupsi Rp 10 miliar pengadaan helikopter jenis MI-2 merek PLC Rostov asal Rusia.

Dua pimpinan KPK yang ditugaskan untuk menangani kasus ini terbang ke Aceh untuk bertemu bertemu beberapa pihak yang bisa memberikan keterangan bukti. Setelah menemukan bukti permulaan yang cukup, KPK menetapkan Abdullah Puteh sebagai tersangka pada 7 Desember 2004. Ini merupakan gebrakan besar setelah 32 tahun belum pernah ada gubernur aktif yang ditetapkan sebagai tersangka.

Meringkus Puteh tidak mudah, ada berupa ancaman singkat untuk mereka yang mencari tahu tentang kasus korupsi yang dilakukan Puteh.

Laporan tersebut ditindaklanjuti dengan mendalami laporan, mengumpulkan bukti serta informasi. KPK mendapatkan bukti, yaitu dua buah bukti transfer dari rekening kas daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ke rekening pribadi Puteh. Bukti transfer itu ditunjukkan langsung oleh seorang saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 1 Februari 2005.

Majelis hakim mengatakan, Puteh telah melanggar Keppres No. 18 tahun 2000 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Pembelian helikopter MI-2 dilakukan tanpa melewati proses tender secara terbuka. Puteh dianggap memperkaya diri sendiri, dan merugikan negara. Menurut majelis hakim, hukuman berat kepada Puteh karena ia melakukan korupsi di daerah konflik.

Akhirnya, Puteh dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Ia juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp. 3,6 miliar dalam waktu satu bulan. Saat vonis dibacakan hakim, Puteh berada di rumah sakit karena baru selesai dioperasi penyakit prostatnya. Departemen Dalam Negeri akhirnya memberhentikan Puteh sebagai gubernur.

Mengenai uang ganti rugi, Puteh menyanggupi untuk membayar namun dalam jangka waktu lima tahun, tapi ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Lalu, Puteh kembali menawar dengan membayar uang ganti rugi secara cicilan dalam setahun dan JPU tetap melakukan penolakan karena amar keputusan tidak bisa ditawar.

Pada 2004, Puteh dimasukkan ke Lapas Sukamiskin, Bandung. Lalu, pada 2009 ia bebas. Dalam hukuman 10 tahun, tapi ia hanya menjalani lima tahun penjara. Kakanwil Depkum HAM Jabar, Danny Hamdany Kusmapradja mengatakan Puteh bebas murni pada 2013. Ia meninggalkan penjara dengan bebas syarat, Puteh tidak diperbolehkan berpergian keluar negeri.

Reporter: Laita Nur Azahra

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Antisipasi Daging Sapi Terjangkit Antraks, Pemkot Jogja Sidak Pedagang Pasar

Mata Indonesia, Gunung Kidul - Kasus antraks yang terjadi di Gunungkidul dan Sleman diantisipasi lebih cepat oleh Pemkot Jogja. Meski Kementan sudah menggerakkan jajarannya termasuk Pemkab Gunungkidul untuk memvaksinasi hewan ternak warga, antisipasi oleh pemerintah wilayah lain juga harus dilakukan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini