Banjir Jakarta Tak Pernah Teratasi Sejak Zaman Kerajaan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Hampir setiap musim hujan datang, banjir seakan tidak pernah absen di Ibukota. Sehingga tak heran jika Jakarta terkenal dengan Kota yang langganan banjir.

Banjir Jakarta tidak pandang bulu, pemukiman masyarakat dari kalangan atas hingga kalangan bawah telah mencicipi terendam banjir.

Banjir secara umum adalah peristiwa bencana alam yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Uni Eropa mengartikan banjir sebagai perendaman sementara oleh air pada daratan yang biasanya tidak terendam air.

Kata “air mengalir”, juga dapat berarti masuknya pasang laut. Banjir dapat diakibatkan volume air di suatu badan air seperti sungai atau danau yang meluap dari bendungan sehingga air keluar dari sungai itu.

Berbicara banjir, tercatat sejarah banjir Jakarta bahkan sudah terjadi pada zaman kerajaan Taruma Negara. Peristiwa itu yang terjadi 15 abad lampau itu sempat terekam dalam Prasasti Tugu di Jakarta Utara, yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta.

Prasasti tersebut menerangkan penggalian Kali Chandrabagha (sekarang Kali Bekasi) dan Kali Gomati (sekarang Kali Mati Tangerang) sepanjang 12 km. Penggalian sungai tersebut merupakan upaya untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman dan ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan pemukiman disusun berdasarkan prinsip keseimbangan ekologi.

Oleh karena itu rawa – rawa di pedalaman boleh diuruk untuk pemukiman, tetapi tidak untuk rawa – rawa yang berada didekat pantai, karena merupakan kawasan resapan air.

Setelah zaman Purnawarman, pendatang dari Eropa mulai tertarik mengunjungi wilayah bernama Jakarta atau Jayakarta atau Batavia pada saat itu karena letaknya di Muara Ciliwung.

Padahal jika dilihat dari struktur geografi, Jakarta memang terletak di daerah dataran yang sangat rendah. Bahkan di beberapa tempat, ketinggian permukaan tanahnya hanya 0 – 7 meter di atas permukaan laut. Sebagian lainnya di bawah permukaan laut dalam bentuk rawa – rawa.

Sehingga hal itulah yang membuat daerah Jakarta sangat rawan banjir. Memasuki masa Kolonial Belanda, banjir tetap masih menjadi masalah utama di Batavia alias Jakarta saat ini.

Beberapa tahun setelah Belanda mendarat, sudah merasakan rumitnya menangani banjir di Batavia.

Batavia pernah mengalami banjir terdahsyat pada tahun 1872. Pada saat itu sluisbrug (pintu air) didepan Istiqlal sekarang, jebol. Kali Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Tak hanya itu, kawasan Harmoni, Rijswik (Jalan Veteran), dan Noordwijk (Jalan Juanda) juga mengalami kelumpuhan sehingga tidak dapat beroperasi dan dilalui kendaraan. Hal ini sangat memusingkan Gubernur Jenderal yang berkuasa saat itu.

Usaha pertama untuk menaggulangi banjir Batavia pertama kali dilakukan Gubernur Batavia Jenderal VOC, Jan Pieterzoon Coen. Caranya dengan membagi aliran Sungai Ciliwung melalui pembangunan kanal–kanal seperti yang di Belanda.

Kanal tersebut dibuat untuk memperlancar aliran Sungai Ciliwung menuju Laut Jawa. Selain itu, kanal yang dibangun pada masa kolonial juga digunakan sebagai sarana transportasi air.

Mengacu kepada prinsip pengendalian banjir DKI Jakarta di Rencana Pengendalian Banjir Jakarta (Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta) yang disusun dengan bantuan Netherland Engineering Consultant (NEDECO) tetap mengandalkan dua kanal yang melingkari sebagian besar wilayah kota.

Ternyata usaha tersebut di masa lalu tidak berhasil, sehingga pemerintahan saat itu dihadapkan lagi dengan persoalan banjir. Pada tahun 1895 Pemerintah Kolonial Belanda mencoba merancang grand design menanggulangi persoalan banjir itu.

Rancangan itu meliputi pembangunan di daerah hulu kawasan Puncak hingga hilir daerah estauria Jakarta Utara. Saat itu lah, Pemerintah Belanda sadar jika Batavia memang daerah berawa–rawa yang banyak memiliki situ (danau).

Maka, perlu sinergitas dengan wilayah di sekitar Jakarta. Hal itu baru terjalin 6 tahun terakhir antara pemerintah pusat, DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Usaha lain terus dilakukan demi menyelesaikan persoalan Banjir yang terjadi di Jakarta. Departemen Burgelijke Openbare Werken (BOW), cikal bakal Departemen pekerjaan Umum Republik Indonesia menunjuk Herman van Breen sebagai ketua Tim Penyusun rencana Pencegahan Banjir.

Tugas dari BOW adalah menangani pekerjaan yang terkait dengan permasalahan air, seperti pemeliharaan sungai, situ, irigasi, bangunan penahan air, dan terusan untuk pelayaran sungai. Selain itu, melakukan pekerjaan lain yang menyangkut ilmu bangunan air dan membuat pembuangan air untuk kepentingan umum.

Akhirnya BOW menciptakan rencana konsep awal kanal banjir tersebut dengan mengalirkan air dari sungai di hulu Batavia melalui saluran kolektor yang dimulai dari selatan kota (saat itu batas selatan kota berada di Manggarai), menyusuri tepi barat kota menuju ke laut yang muaranya berada di Muara Angke.

Saluran kolektor yang menyusuri bagian barat Batavia ini disebut dengan Kanal Banjir Barat. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet. Saat ini, jika musim hujan datang Pintu Air Manggarai menjadi titik waspada volume air guna mencegah datangnya bencana banjir di Jakarta.

Adapun pemikiran Van Breen terkait pembuatan terusan di timur digaungkan kembali tahun 1970-an. Namun gagasan itu baru direalisasikan pada tahun 2003, dan disebut juga dengan Kanal Banjir Timur. Kanal tersebut mengendalikan banjir di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara sehingga banjir di seluruh Jakarta dapat dikendalikan.

Rupanya sampai saat ini banjir di Jakarta terus terjadi walaupun upaya – upaya telah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Perbaikan demi perbaikan juga telah dikerjakan hingga era pemerintahan saat ini, tetapi seiring dengan itu kota dan penduduknya juga makin mengembang, serta sampah pun makin meningkat. Ancaman banjir di Jakarta terlihat bertambah parah seiring perubahan kawasan dataran tinggi yang mengelilingi cekungan menjadi pusat pemukiman baru.

Banyaknya bangunan baru, serta gedung – gedung tinggi yang dibangun mengakibatkan banjir di Jakarta seakan tak berujung. Waduk – waduk dan rawa – rawa yang berada dipinggiran Jakarta kini dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya, kawasan untuk resapan air justru mengirim lebih banyak air permukaan ke Jakarta.

Meskipun begitu, pemerintahan saat ini terus berupaya untuk menangani permasalahan banjir di Jakarta yang kian datang saat musim hujan tiba. Dengan itu, sebagai warga sekitar Jakarta kita juga harus memiliki kesadaran untuk terus menjaga lingkungan kita serta waspada akan datangnya bencana banjir. (Reygita Laura)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

AMN Manado Bangkitkan Etos Pemuda Jadi Cendekia Cerdas dan Terhormat

Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN) Manado membangkitkan etos para pemuda untuk menjadi cendekia yang cerdas dan terhormat, sehingga mereka terampil...
- Advertisement -

Baca berita yang ini