Ali Sadikin, Gubernur Kontroversial yang Disayang Warga Jakarta

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Salah satu, lebih tepat satu-satunya gubernur DKI Jakarta yang hingga kini terbilang kontroversial tetapi disayangi warganya adalah Ali Sadikin.

Lelaki kelahiran Sumedang itu ditunjuk Presiden Soekarno menjadi Gubernur Jakarta pada 1966 saat masih menyandang pangkat Letnan Jenderal Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL).

Tidak seperti gubernur DKI Jakarta zaman sekarang, ketika Bang Ali -begitu panggilan kesayangan untuk Ali Sadikin- hendak melaksanakan tugasnya anggaran belanja Pemerintah Provinsi Jakarta hanya Rp 66 juta rupiah. Hal itu terdiri dari 1/3 hasil pungutan daerah dan 2/3 anggaran subsidi.

Angka anggaran senilai itu sangat tidak cukup untuk menyejahterakan 3,5 juta warga Jakarta kala itu. Setidaknya dia membutuhkan Rp 1 miliar setahun untuk membangun sebuah ibu kota yang layak.

Bang Ali pun berupaya menggenjot pendapatan pajak. Tetapi apa yang mau dipajaki dari kota yang baru mau dibangun?

Maka kendaraan bermotor hingga usaha perniagaan dia pajaki. Masih kurang juga untuk membangun maka, dia membangun lokalisasi perjudian di Ancol. Dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1957 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun memungut pajak perjudian yang lumayan besar.

Dia memiliki moto, “service is money, money is tax’ maka ‘no tax, no service.” Dia sampai berkata, “Jangan rakyat mengharapkan dari saya, jika tidak mau membayar pajak.”

Kawasan Sudirman-Thamrin awal tahun 1970 -an

Hasilnya pada 1974 Bang Ali membangun 700 gedung sekolah senilai 20 miliar, sebanyak Rp 17 miliar untuk fasilitas sosial seperti puskesmas, perbaikan kampung MHT, membeli bus-bus, memperbaiki shelter, dan membangun jalan – jalan.

Untuk melihat hasil kerjanya, Bang Ali ikut berdesakan dengan warga Jakarta menumpang bus kota selama dua hari. Dia pun jadi tahu bahwa bus berhenti sembarangan, tidak ada terminal dan shelter bus.

Akhirnya dia datang ke Bappenas minta pengadaan bus. Sebanyak 500 bus dibeli dengan uang pinjaman dari Amerika Serikat.

Lagi-lagi dengan uang pajak judi Bang Ali menambah jumlah bus sehingga Jakarta memiliki 3000 unit bus kota.

Setelah itu dia mendirikan sejumlah terminal di Lapangan Banteng, Grogol, Cililitan, Blok M, Pulogadung dan banyak lagi. Dia juga membangun banyak shelter bus di sepanjang jalan raya.

Namun, banyak warga terutama kaum muslim yang menentangnya, terutama Buya Hamka. Bang Ali bahkan mempersilakan ulam besar itu naik helikopter jika tidak mau menggunakan jalan-jalan Jakarta.

Bukan hanya jalan dan sekolah yang dibangun, kampung-kampung kumuh penampung kaum urban pun jadi sasaran Bang Ali. Dia tidak ingin Jakarta menjelma menjadi Calcuta di India yang kumuh.

Kawasan Patung Pancoran dari arah Cawang Tahun 1969

Puskemas pun banyak dibangun untuk menjamin kesehatan masyarakat kecil Jakarta. Di setiap kelurahan harus ada dua atau tiga puskesmas.

Bang Ali pula berinisiatif membangun sejumlah bioskop murah untuk hiburan rakyat menengah ke bawah yang jenuh setelah sehari bekerja.

Dia juga membangun Pusat Perfilman Usmar Ismail untuk mendorong film-film Indonesia ditonton masyarakat luas.

Dari semua prestasinya membangun Jakarta hingga kini tidak ada yang menyamainya. Prestasi Bang Yos atau Sutiyoso mungkin yang agak mendekati dengan terobosan membangun jalur busway.

Sementara gubernur yang mendekati sifatnya adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Keduanya memiliki sifat yang keras dan cenderung temperamental.

Bang Ali akan langsung naik pitam jika pegawai Pemprov bekerja tidak becus. Dia bahkan tidak segan-segan menampar stafnya sambil mengucapkan kata-kata kasar.

Sikap itu juga muncul saat melihat ketidakberesan di jalan. Bang Ali dikabarkan pernah menghentikan sebuah truk yang dikemudikan ugal-ugalan di jalanan Jakarta dan dia langsung menempeleng supirnya.

Tetapi di balik sikap kasarnya itu, Bang Ali mungkin juga Ahok, warga Jakarta melihat ada kesungguhannya memajukan kota dan warga ibukota.

Terbukti saat mengakhiri tugasnya sebagai gubernur, masyarakat tumpah ruah ke jalan-jalan yang akan dilewati Bang Ali menuju Gedung Walikota Jakarta Selatan.

Mereka ingin menyalami lelaki yang 11 tahun berhasil mengubah Jakarta yang kosong melompong menjadi tempat seperti kota-kota besar di Eropa. Tak terasa air mata perwira tinggi KKO itu pun menetes melihat banyaknya warga yang berebut saat upacara perpisahan sebagai Gubernur Jakarta pada 1977 itu.

Bang Ali bahkan masih menyisakan uang kas Pemerintah Provinsi senilai Rp 115 miliar. Padahal waktu menerima jabatan itu dia hanya diberi Rp 66 juta sehingga tahun-tahun pertama pemerintahannya selalu defisit.

Itu lah yang membuat warga Jakarta sadar akan ketulusan hati Bang Ali memajukan Jakarta dan warganya.

Di atas sado yang mengaraknya dari Masjid Al Azhar ke Gedung Walikota Jakarta Selatan, Bang Ali merasa bangga telah meninggalkan warisan kepada warga Jakarta, yang tidak bisa dilakukan gubernur-gubernur selanjutnya.

Dia juga tahu warga menyayanginya karena sikap kasar yang sering dilontarkannya benar-benar dipahami sebagai upaya untuk mencapai kebaikan.

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini