Indonesia vs Cina di Laut Cina Selatan, Bagaimana Tanggapan Masyarakat Cina?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Konflik antara Indonesia dan Cina soal Laut Cina Selatan (LCS) atau yang kini bersalin nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU) sudah mereda.

Konflik ini sempat membuat gempar masyarakat Indonesia. Bahkan kumpulan paranormal seperti Ki Joko Bodo, H Ridwan Koboy dan Pangeran Wong Sinting mengaku siap turun langsung terkait persoalan Natuna ini, jika perang terjadi.

Lalu bagaimana tanggapan masyarakat di Cina?

Pakar komunikasi politik Novi Basuki mengatakan, masyarakat di Cina tak terlalu menanggapi konflik di Natuna.
“Gak begitu ramai di medsos Cina. Kemlu kedua negara saja yang adu mulut. (Sementara) netizen Cina adem ayem,” katanya, ketika dihubungi Mata Indonesia, Kamis 8 Januari 2020.

Kata pria yang tengah mengambil Studi doktoral di Sun Yat-sen University ini, karena tak terlalu merespon konflik LCS, bukan berarti netizen Cina jadi apatis, tapi karena memang isu kali ini tak terlalu ramai.

“Bukan apatis, tapi emang yang sekarang ini ga begitu ramai. Dulu ramai, ketika kapal Cina dan awaknya ditangkap pas zamannya Bu Susi. (Kalau yang sekarang), media China hanya memberitakan pernyataan Jubir China saja,” ujarnya.

Nah, soal konflik di LCS ini, Indonesia yang berpegang teguh pada putusan UNCLOS 1982. Sementara China berpegang teguh pada sembilan garis putus-putus alias Nine Dash Line (NDL).

Kata Basuki, sebenarnya NDL sudah ada sejak 1947. NDL merupakan produk politik Partai Nasionalis Kuomintang. Tapi tidak dijelaskan itu garis apa. Apakah itu garis Cina untuk mengklaim pulau-pulau di LCS? Apakah itu untuk mengklaim lautnya saja?

“Tak ada kejelasan sama sekali. Hanya saja, klaim China terhadap LCS memang berdasar pada NDL, sekalipun sudah diputus illegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional, 2016 kemarin,” katanya.

Agar konflik ini tak lagi merebak di masa mendatang, Basuki pun menyarankan agar pemerintah perlu menyelesaikan soal Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Natuna. Sebenarnya itu milik siapa?
“Bagi saya, sepanjang ZEE Indonesia di perairan Natuna belum tuntas, akan selalu ada konflik di sana,” ujarnya.

Maka Basuki memberikan sejumlah tawaran solusi yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pertama, Indonesia tak harus terus menyatakan tak punya masalah kedaulatan di LCS.

“Indonesia harus mempertegas (berani) tak punya masalah tumpang tindih hak berdaulat di zona maritim mana pun di LCS dengan Cina,” katanya.

Basuki beralasan karena Cina kelihatan tak punya pendirian yang jelas soal status LCS. sebelumnya pada 12 November 2015 silam, Cina telah menyatakan secara terbuka mengakui kedaulatan Kepulauan Natuna sepenuhnya berada pada Indonesia.

Tapi hal itu ternyata cuma bertahan sesaat. Buktinya sejak 18 Juni 2016, Cina selalu menyatakan punya “hak maritim” seluas (merujuk editorialHuanqiu Shibao, koran milik Partai Komunis Cina, edisi 24 Juni 2016) lebih kurang 50.000 kilometer persegi” yang bertampalan dengan Indonesia di perairan Natuna. China selalu berpegang teguh pada sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang juga diklaimnya secara sepihak pula tanpa kejelasan yang pasti.

“Cina hingga kini tidak rinci menjelaskan apa dan bagaimana metode pengukuran “hak maritim” itu. Namun, kemungkinan besar mereka merujuk kepada “hak berdaulat” yang diamanatkan hukum laut internasional (UNCLOS), yaitu hak memanfaatkan dan mengelola sumber daya di zona maritim tertentu yang luasnya diukur dari garis pangkal pulau terluar negara pantai. Zona maritim tempat berlakunya “hak berdaulat” ini meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen,” ujarnya.

Ringkasnya, kata Basuki, menurut logika Cina, kedaulatan Kepulauan Natuna benar punya Indonesia, tapi Cina juga berhak menikmati kekayaan alam di dalam zona maritimnya.

“Cina tampaknya memanfaatkan terminologi “kedaulatan” dan “hak berdaulat” yang dibedakan UNCLOS sebagai celah melegitimasi klaimnya di perairan Natuna,” katanya.

Namun, dari perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan Cina. Pasalnya, klaim “hak maritim” Cina di LNU didasarkan pada sembilan garis putus-putus yang sudah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA). Sementara Indonesia bersandar pada UNCLOS.

Kedua, agar pengesahan tersebut kian kuat, maka Indonesia perlu bernegosiasi dengan Vietnam dan Malaysia yang zona maritimnya memang diakui tumpang tindih dengan LNU.

Selain Vietnam dan Malaysia, ada sejumlah negara dan wilayah yang berbatasan dengan LCS yaitu Cina (termasuk Makau dan Hong Kong), Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Indonesia dan Singapura.

Perundingan penetapan batas (delimitasi) zona maritim LNU dengan Vietnam dan Malaysia, kata Basuki, harus segera dituntaskan. Delimitasi sudah dilakukan dengan Malaysia pada 1969, menyusul dengan Vietnam pada 2003. Sampai sekarang yang berhasil ditetapkan hanya landas kontinennya, bukan kolom air yang ada di atasnya, yang kini dinamai LNU itu.

“(Karena) Sepanjang belum mencapai sepakat, kepemilikan Indonesia terhadap LNU masih bisa diperdebatkan siapa pun,” ujarnya.

Ketiga, Indonesia perlu mengalkulasi untung-rugi ekonomi “peringatan” Cina. Penelitian Fang Wang (2015) menyimpulkan, pemerintahan Presiden Aquino III yang membawa masalah LCS ke PCA menyebabkan Cina berang lantas memberlakukan pengetatan impor dari Filipina sebagai ganjarannya.

Begitulah, peran pemerintah amat besar dalam perekonomian Cina. Menurut studi Andreas Fuchs dan Nils-Hendrik Klann (2010), mereka menjadikan arus perdagangan sebagai salah satu perkakas sanksi dalam hubungan luar negerinya. Dalam risetnya, dua ekonom Universitas Heidelberg dan Universitas Goettingen itu menemukan, dari data perdagangan 159 mitra dagang Cina yang diukur sejak 1991 sampai 2008, negara luar yang bikin masygul Pemerintah China, setelahnya akan mengalami pemerosotan ekspor ke China 8,1 persen-16,9 persen.

“Kita tentu tak ingin defisit belasan miliar dollar AS yang diderita Indonesia saban tahun perniagaannya dengan Cina semakin membengkak lantaran Beijing menyulap keperkasaan ekonominya sebagai tongkat untuk menggebuk Indonesia,” katanya.

Berita Terbaru

Pilkada Damai Membutuhkan Keterlibatan Semua Pihak

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu momen krusial dalam agenda demokrasi Indonesia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua...
- Advertisement -

Baca berita yang ini