Milchsuppe, Sup dengan Cita Rasa Sejarah

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Perang menjadi hal yang lazim di dunia dalam beberapa abad yang lalu. Umumnya, setiap peperangan akan berakhir apabila salah satu pihak berhasil dikalahkan atau kedua belah pihak melakukan perdamaian. Tapi tidak dalam peperangan yang berakhir karena sup Milchsuppe.

Dilansir dari BBC, Milchsuppe merupakan makanan yang diresapi oleh cerita rakyat, sehingga mempunyai cita rasa sejarah karena hubungannya dengan pembentukan negara Swiss.

Pada masa reformasi awal abad ke-16 di negara Swiss, Swiss terbagi dalam dua wilayah. Wilayah bagian utara, Zurich ialah wilayah yang beragama Protestan. Sedangkan wilayah pada bagian selatan, Zug ialah wilayah yang menganut agama katolik.

Milchusuppe menandai perbatasan yang begejolak dan membagi garis antara wilayah-wilayah yang menentang terkiat Protestan dan Katolik. Di sebelah utara wilayah Protestan yang dipimpin Martin Luther, sedangkan Ulrich Zwingli sebagai pengawas paroki (wilayah Katolik) yang menyebarkan reformasi.

Namun, sampai saat ini tidak ada seorang pun yang dapat mengingat dengan jelas asal muasal dari sup tersebut atau bahan-bahan pembuatan sup yang pertama kali dibuat di ladang dekat Biara Kappel.

Jauh setelah cerita konflik, sekitar pukul 08.00 pagi setelah membaca doa harian di Kappel Abbey, Kanton Zurich, seorang pensiunan pendeta dan sejarawan paruh waktu bernama Susanne Wey-Korthals keluar untuk menghirup udara segar Alpen dari tempat istirahatnya dan mengenang berbagai sejarah yang pernah terjadi di Swiss.

Melintasi halaman biara Gothic, ia memandang ke arah padang rumput yang bergelombang ke tempat pada awal terbentuknya negara Swiss.

“Lahan-lahan ini menjadi saksi dari beberapa momen paling penting dalam sejarah Swiss,” kata Wey-Korthals.

Dari sudut kolam yang banyak ditumbuhi rumput di bekas Biara Sistersien, yang terkenal sebagai Tempat Keheningan dan Refleksi Diri (House of Silence and Reflection), Wey-Korthlas dapat melihat pemukiman Kapel Am Ablis dengan bentuk rumah bertangga curam, hamparan ladang yang subur dengan baik, dan kawanan merpati yang terbang kesana kemari di lumbung kayu.

Seorang pensiunan pendeta tersebut dapat melanjuti mengingat sejarah unik dengan melintas lebih jauh ke padang rumput, pepohonan bersemak belukar, tentunya dengan hari-hati. Lahan-lahan yang ia lihat dari kejauhan mengingatkannya kembali pada peristiwa besejarah itu.

“Lahan-lahan ini menjadi saksi bisu beberapa momen paling penting dalam sejarah Swiss,” kata Wey Korthals sembari melihat lika-liku dari padang rumput yang indah itu.

Di lapangan Kappel Am Albis kedua pihak bersiap untuk perang secara terbuka. Mengingatkan perpecahan dan ketidakpercayaan telah tersebar luas pada masa reformasi 1529.

“Negosiasi terus berlanjut, tetapi ada yang mengagetkan semua orang. Kedua pasukan menghentikan gejolak antar senjata, sebab urusan makanan saat berada di medan perang,” kata Wey-Korthals sambil melihat tempat pertempuran pertama yang seharusnya terjadi pertumpahan darah.

Dari rasa lapar setelah negosiasi, Zurich mempunyai banyak roti dan garam, sementara Zug memiliki stok susu yang berlebih dari perternakan. Dikutip dari BBC, seorang sejarawan Wey-Korthals menyebutkan dari situlah legenda itu lahir. Memang tidak ada yang bisa sesederhana itu.

“Swiss menemukan cara untuk berkompromi di sini. Untuk berkonsentrasi pada apa yang kami miliki bersama daripada berfokus pada perbedaan. Kedengarannya hebat, tetapi kami berhasil melakukannya dengan semangkuk sup,” ujar Wey Korthals.

Hal itu menciptakan sebuah makanan yang bernama sup Milchusuppe. Sebuah sup yang terbuat dari susu dan roti. Sup Milchsuppe menjadi simbol perdamaian di Swiss.

Sama seperti makanan lainnya yang punya sejarah tertentu seperti fondue, raclette, atau bircher. Sup Milchsuppe diibaratkan Swiss dalam sebuah mangkuk, semuanya tercampur dalam satu mangkuk yang menyimpan sejarah mendalam.

Saat ini, sup bersejarah itu dibuat dengan campuran Sbrinz sejenis keju parmesan, dan ditambah setangkai peterseli. Rasanya jelas nikmat. Dibuat secara tradisional dengan dua bahan sederhana yaitu roti dan susu.

“Ketika para politisi atau anggota dewan memiliki perselisihan, sup itu masih disajikan hingga kini,” ucap Wey-Korthals.

Ulrich Zwingli yang terlibat pada kisah sejarah itu akhirnya menjadi pendeta. Ia memberi energi kepada Gerakan Reformasi Swiss. Sebagian besar sejarah pada dahulu kala ditampilkan di kanvas pada galeri museum yang luas itu. Bermula dari situlah kisah Milchsuppe diambil.

Bahkan sebagai tanda mengenangnya kisah sejarah itu, sampai dibangunnya sebuah monumen yang bertuliskan “Kappeler Milchsuppe”. Sehingga kini sup tersebut disajikan untuk para politisi atau anggota parlemen yang memiliki perselisihan. Sebab bagi orang-orang Swiss, sup tersebut dipercaya akan membawa kedamaian dan dapat memunculkan sebuah solusi tanpa keributan. 

Reporter : Irania Zulia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Program AMANAH Kembangkan SDM Muda Kelola Potensi Kekayaan Aceh

Program Aneuk Muda Aceh Unggul dan Hebat (AMANAH) mampu mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) muda di Tanah Rencong...
- Advertisement -

Baca berita yang ini