Perbankan Nasional Menuju Era New Normal

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Presiden Joko Widodo dalam pernyataan resminya di Istana Merdeka Jakarta pada Jumat, 15 Mei 2020 menyatakan wacana mengenai tatanan kehidupan baru sebagai akibat lanjutan dari pandemi Covid-19 yang dinamai New Normal.

Pernyataan Presiden bahwa: “Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru.”

Secara global, World Health Organization (WHO) sebagai badan dunia yang mengawal kesehatan masyarakat dunia melalui Dr Hans Henri P Kluge – Direktur Regional WHO Eropa memberikan panduan bagi negara-negara Eropa yang akan menerapkan new normal. Perlu langkah strategis yang dilakukan guna meringankan pembatasan / penguncian aktivitas (lockdown) melalui transisi yang dapat memastikan bahwa:

  • ada bukti nyata penyebaran Covid-19 telah dapat dikendalikan

  • kesehatan masyarakat dan kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina

  • mengurangi risiko wabah dengan pengaturan ketat terhadap tempat yang memiliki kerentanan tinggi, terutama di rumah orang lanjut usia, fasilitas kesehatan mental dan pemukiman padat

  • pencegahan di tempat kerja ditetapkan, seperti jarak fisik (phisical distancing), fasilitas mencuci tangan, etika penerapan pernafasan (antara lain pemakaian masker)

  • risiko penyebaran imported case dapat dikendalikan dan masyarakat ikut berperan terlibat dalam transisi.

Hanya dengan mencermati kedua pernyataan di atas tampak jelas bahwa seluruh sektor dalam tatanan kehidupan manusia hampir pasti akan berubah selama dan pasca pandemi Covid-19. Sektor ekonomi, keuangan dan perbankan termasuk di dalamnya. Perlu keputusan strategis antisipasi yang cepat dan tepat sasaran untuk memasuki era new normal. Tulisan ini akan sedikit melihat ke belakang akibat buruk yang ditimbulkan oleh Covid-19 dan mencoba melihat pelbagai kemungkinan yang akan terjadi di beberapa sektor terutama yang terkait dengan Perbankan Nasional.

Fakta dan Upaya

Mengutip Laporan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) April 2020 mengenai Kebijakan Respon Small Medium Enterprises (SME): pandemi Covid-19 telah menyebabkan implikasi negatif berupa ancaman krisis ekonomi besar yang tercermin pada aktivitas produksi yang berhenti, tingkat konsumsi masyarakat yang turun drastis, kepercayaan konsumen yang menghilang, rontoknya bursa saham dunia yang pada akhirnya memicu ketidakpastian arah kehidupan global. Lebih mengerikan prediksi OECD bahwa tingkat output global akan anjlok hingga -25% dan pengeluaran konsumsi masyarakat akan turun hingga -35%. Prediksi ini tak pelak telah mempengaruhi ekonomi Indonesia juga.

Seperti sudah diberitakan di banyak media bahwa sektor pariwisata, perdagangan, investasi merupakan sektor ekonomi Indonesia yang paling terdampak pendemi Covid-19. Dampak negatif lanjutannya adalah perekonomian Indonesia terguncang akibat nilai perdagangan yang turun, total produksi yang tidak terserap konsumsi masyarakat dan gelombang pemutusan hubungan kerja/dirumahkannya banyak pekerja sektor formal/informal Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di Kuartal I-2020 yang 2,97% menunjukan bukti penurunan perekonomian domestik yang meliputi konsumsi dan daya beli masyarakat, kinerja perusahaan, sektor perbankan dan keuangan serta keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah. Banyaknya pemutusan hubungan kerja, berkurang/hilangnya pendapatan telah berpengaruh negatif yang signifikan terhadap tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat. Padahal diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh tingkat konsumsi masyarakat. Berkurangnya pendapatan menyebabkan masyarakat cenderung berhati-hati (hemat) dalam mengeluarkan uang dan faktor ketidakpastian waktu berakhirnya pendemi ini mengakibatkan merosotnya pertumbuhan ekonomi.

Turunnya daya beli terhadap barang konsumsi memberikan tekanan berat pada sisi produsen dan sisi penjualan. Kinerja berbagai perusahaan, utamanya mereka yang berada pada sektor perdagangan, transportasi dan pariwisata mau tidak mau terseret turun.

Kebijakan Work from Home bisa jadi juga berdampak mengurangi produktivitas pekerja yang bila dipandang memberikan kontribusi negatif pada output perusahaan, maka hal ini dianggap sebagai salah satu penyebab gelombang pemecatan. Akibat terparah atas ketidakpastian ini adalah perusahaan bangkrut dan menutup usahanya. Banyaknya perusahaan yang bangkrut otomatis memberikan efek domino pada keberlangsungan kinerja sektor perbankan dan investasi asing.

Perusahaan yang hilang/berkurang revenue berpotensi memperbesar risiko kredit (credit risk) berupa default gagal bayar pembayaran bunga dan pokok hutang bank. Telah banyak Debitur yang mengajukan restrukturisasi tenor dan atau nominal pembayaran cicilan bunga dan pokok hutang Bank. Mengutip Siaran Pers OJK sd 24 April 2020 mencatat 74 dari 101 bank yang terdaftar telah merestrukturisasi kredit kepada 1.019.334 debitur yang terdampak pandemi Covid-19 dengan nilai kredit yang telah direstrukturisasi sebesar Rp 207,2 triliun.

Meskipun tujuan restrukturisasi baik, namun tetap ada risiko yang harus dilakukan limitasi, yaitu Debitur yang tidak terdampak Covid-19 dan masih memiliki kemampuan keuangan untuk membayar cicilan bunga dan pokok hutang namun mengajukan relaksasi pembayaran. Kondisi ini yang memunculkan moral hazard, sehingga OJK kemudian menetapkan kriteria seleksi restrukturisasi yang tepat melalui penerbitan 2 (dua) Peraturan OJK, yaitu:

  1. POJK 03/POJK.03/2020 tentang Kebijakan Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Bank

  2. POJK 14/POJK.05/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank

Perusahaan yang sangat bergantung pada bahan baku impor akan mengalami sakit kepala berkepanjangan memikirkan pembayaran hutang valas, bila nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing (terutama US Dollar) tak kunjung membaik. Beruntung cadangan devisa Indonesia masih cukup banyak, sehingga Bank Indonesia sebagai penjaga kestabilan moneter Indonesia secara aktif mengintervensi pasar uang sehingga nilai Rupiah terhadap US Dollar cenderung stabil di kisaran 14 ribuan per 1 US Dollar. Masih segar dalam ingatan bila investor asing berbarengan ‘cabut’ dari pasar uang dan pasar saham Indonesia. Arus modal asing yang keluar selama Januari – Maret 2020 tercatat +/- Rp 145 triliun. Jumlah yang lebih besar dibandingkan krisis ekonomi 2008 sebesar Rp 69,9 triliun dan krisis ekonomi 2013 yang sebesar Rp. 36 triliun.

Bicara cadangan devisa, Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa akhir April 2020 sebesar USD 127,9 miliar yang meningkat dari Rp 121 miliar di Maret 2020. Meskipun demikian patut dicatat bahwa peningkatan cadangan devisa ini banyak dipengaruhi oleh penerbitan 3 seri surat hutang luar negeri (global bond) pemerintah yaitu:

  • Seri RI1030 tenor 10,5 tahun, jatuh tempo 15 Oktober 2030, yield 3,9%, sejumlah USD 1,65 miliar

  • Seri RI1050 tenor 30,5 tahun, jatuh tempo 15 Oktober 2050, yield 4,25%, sejumlah USD 1,65 miliar

  • Seri RI0470 tenor 50 tahun, jatuh tempo 15 April 2070, yield 4,5%, sejumlah USD1 miliar

Bank Indonesia tampaknya cukup yakin bahwa cadangan devisa tersebut akan mampu menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan yang didukung oleh prospek ekonomi yang akan membaik. Walaupun demikian aspek kepercayaan investor asing harus terus ditingkatkan karena proyek-proyek strategis Pemerintah banyak bergantung pada dana asing tersebut.

Bank yang berfokus pada bisnis sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tampaknya harus waspada dan punya strategi inisitatif untuk mendongkrak kinerja UMKM selama pandemi Covid-19 belum berakhir sehingga kredit sektor UMKM kembali lancar dan program KUR Pemerintah kembali berjaya. Hal ini mencermati kenyataan bahwa Covid-19 telah menekan turun konsumsi dan daya beli masyarakat yang memberikan pengaruh negatif pada pembayaran kredit kecil yang macet dan pemutusan hubungan kerja. OJK telah mencatat per April 2020, restrukturisasi hutang bank didominasi oleh sektor UMKM. Rinciannya, 819.923 debitur UMKM dengan nilai restruk mencapai Rp 99,3 triliun dan 199.411 debitur non UMKM dengan nilai restruk sejumlah Rp 107,8 triliun.

Berbagai fakta di atas menegaskan betapa banyak potensi sumber daya negara, perusahaan dan perorangan yang hilang sebagai akibat pandemi Covid-19 yang sulit pulih dalam jangka waktu dekat, antara lain:

  1. Berkurangnya pendapatan pajak negara yang diperparah oleh makin banyaknya pengeluaran yang harus dikeluarkan antara lain pembayaran bunga obligasi global jangka panjang, biaya jejaring pengaman sosial (bantuan sosial, program keluarga harapan, kartu pra-kerja, dana desa dll), biaya insentif tambahan untuk tenaga kesehatan untuk mengobati pasien Covid-19 dan skema penempatan dana sejumlah Rp 87,59 triliun via bank jangkar untuk mendukung proses restrukturisasi kredit dan mengembalikan kepercayaan menyalurkan kredit modal kerjanya kepada pengusaha (khususnya UMKM) yang terdampak Covid-19.

  2. Peningkatan ‘biaya permasalahan sosial’ negara, antara lain: potensi meningkatnya jumlah kriminalitas akibat pembebasan narapidana, peningkatan jumlah pengangguran baru, resesi ekonomi yang bercampur dengan kepentingan politik yang berpotensi memunculkan chaos seperti tahun 1998.

  3. Kinerja perusahaan debitur bank memburuk, bangkrut, pemutusan hubungan kerja, restrukturisasi hutang bank, penjualan aset perusahaan dengan harga murah, tagihan penjualan yang tidak terbayar.

  4. Kondisi pasar uang dan pasar modal yang rentan diganggu potensi arus modal asing yang keluar Indonesia.

  5. Kinerja perbankan nasional yang masih dihantui penurunan interest income, potensi peningkatan rasio Loan at Risk (LaR), peningkatan kredit bermasalah (non performing loans), restrukturisasi hutang bank (sektor properti, ritel, tekstil, pariwisata, transportasi), reorientasi sektor-sektor bisnis yang bisa dibiayai pada era new normal, peningkatan biaya opex/capex untuk investasi teknologi untuk memperkuat digital banking di era new normal.

  6. Para pekerja formal dan informal kehilangan pendapatan, pengeluaran tambahan (perawatan anggota keluarga terdampak Covid-19, pembayaran denda/bunga tunggakan pinjaman kartu kredit, pembayaran kredit kepemilikan rumah/mobil tertunggak, biaya rumah tangga antara lain: listrik, Wifi akibat Work from Home, School from Home), penghilangan/pemotongan THR.

Pemulihan Ekonomi dan Peran Bank

Menilik tingkat kehancuran dan kerugian yang ditimbulkan Covid-19 maka kemudian muncul wacana berdamai atau hidup berdampingan dengan virus ini melalui suatu tatanan kehidupan normal yang baru yang dimulai dengan tahapan pemulihan ekonomi Nasional. Mengutip media Tempo.Co bahwa format gagasan fase kehidupan new normal sudah mulai dikonsep oleh Kementerian Perekonomian, sebagai berikut:

Fase 1 (1 Juni 2020), yaitu: industri dan jasa bisnis beroperasi dengan social/physical distancing dan persyaratan kesehatan. Toko, pasar dan mall belum boleh beroperasi, kecuali toko penjual masker dan fasilitas kesehatan. Sektor kesehatan beroperasi penuh dengan memperhatikan kapasitas sistem kesehatan. Berkumpul maksimal 2 orang di dalam suatu ruangan. Olahraga luar ruang belum diperbolehkan.

Fase 2 (8 Juni 2020), yaitu: toko, pasar dan pusat perbelanjaan diperbolehkan pembukaan toko tanpa diskriminasi sektor dan tetap menerapkan protokol ketat. Usaha dengan kontak fisik belum boleh beroperasi. Kegiatan berkumpul dan olahraga outdoor belum diperbolehkan.

Fase 3 (15 Juni 2020), yaitu: evaluasi pembukaan salon, spa dengan protokol ketat. Kegiatan kebudayaan diperbolehkan dengan menjaga jarak. Kegiatan pendidikan di sekolah dilakukan dengan shift sesuai jumlah kelas. Olahraga outdoor diperbolehkan dengan protokol ketat. Evaluasi pembukaan tempat pernikahan, ulang tahun, kegiatan sosial hingga 10 orang.

Fase 4 (6 Juli 2020), yaitu: pembukaan kegiatan ekonomi seperti di fase 3 dengan tambahan evaluasi. Pembukaan bertahap restoran, cafe, bar, tempat gym dengan protokol kebersihan ketat. Kegiatan outdoor lebih dari 10 orang. Pelesir keluar kota dengan pembatasan jumlah penerbangan. Kegiatan ibadah dilakukan dengan jumlah jamaah terbatas. Membatasi kegiatan berskala lebih dari yang disebutkan.

Fase 5 (20 & 27 Juli 2020), yaitu: evaluasi untuk Fase 4 dan pembukaan tempat-tempat atau kegiatan ekonomi lain dalam skala besar. Akhir Juli atau awal Agustus, seluruh kegiatan ekonomi sudah dibuka dengan tetap mempertahankan protokol dan standar kebersihan/kesehatan yang ketat. Evaluasi berkala sampai vaksin bisa ditemukan dan disebarluaskan.

Kesimpulan sementara yang dapat ditarik adalah: new normal tidak akan dengan cepat mengembalikan ekonomi Indonesia seperti pada kinerja sebelum pandemi. Optimisme Pemerintah masih dibagi per fase dengan berbagai evaluasi ketat.

Bank yang pada dasarnya melakukan kegiatan bisnis sebagai intermediator funding dan lending, mencermati fase penerapan new normal ekonomi nasional dengan tetap memperhitungkan kondisi global di mana kembali muncul ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat vs Tiongkok, berbagai kebijakan dan aturan yang diterbitkan Pemerintah, BI, OJK; risk-return bisnis akibat pandemi Covid-19 yang telah mulai dirasakan sejak awal 2020. Aktivitas Bank dalam mengelola bisnis, layanan dan operasional serta peran sebagai konsultan finansial Nasabah harus dapat terus berjalan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Secara bisnis, indikator keuangan berupa pendapatan bunga kredit diharapkan tetap naik dengan ditopang oleh pertumbuhan beban bunga yang terkendali. Laba Operasional Pra-Provisi harus tumbuh yang didukung oleh Net Interest Income dan belanja operasional (OPEX) yang terkendali. Selain itu, penting bagi Bank untuk menjaga likuiditas di masa pandemi. Oleh karena itu, restrukturisasi dan reprofiling kredit menjadi penting untuk terus dilakukan guna menghindari default-kredit macet dari debitur. Bank juga harus tetap menjaga tingkat kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) serta menghindari konstrasi pinjaman ke industri yang rentan terdapak pandemi.

Bila mencermati Laporan Keuangan Kuartal I 2020 The Big Five Banks di Indonesia, belum terlihat dampak pandemi terhadap kinerja bank secara signifikan, antara lain karena persentase jumlah kredit yang direstrukturisasi masih belum banyak. Diperkirakan pipeline restrukturisasi kredit perbankan nasional dapat mencapai hingga 30% dari total kredit dan kondisi ini baru akan mempengaruhi kinerja bank pada kuartal kedua dan ketiga 2020.

Bank akan wait and see cenderung mengubah orientasi bisnis pemberian kredit kepada sektor-sektor yang diperkirakan belum sepenuhnya pulih akibat hantaman pandemi. Demikian pula, bank akan aware mengamati berbagai sektor usaha yang berpotensi dihajar, apabila terjadi gelombang kedua Covid-19. Sektor pariwisata, transportasi, perdagangan ritel masih akan dihindari. Sektor perkebunan dan pabrik kelapa sawit bisa menjadi sector yang masih menarik karena isu penggunaan energi sumber daya alam terbarukan. Sejak adanya pandemi, sektor kesehatan menarik untuk dianalisa lebih lanjut.

Para pelaku industri perbankan mau tidak mau harus siap menjalani bisnis dalam era kenormalan baru ini. Aktivitas operasional di cabang bank harus disesuaikan dengan kondisi industri yang akan aktif per fase di suatu daerah sesuai dengan tahapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Di sisi lain aktivitas operasional dan pelayanan, praktek physical distancing, penyediaan hand sanitizer, penyediaan tempat cuci tangan, pengukuran suhu dan pemakaian masker merupakan standar operating procedures yang akan dilanjutkan. Efek positif pandemi Covid-19 adalah bank semakin memacu digital banking untuk men-deliver produk dan jasa kepada para nasabahnya.

Era new normal disikapi sebagai peluang bagi bank untuk mendorong dan memperkuat pergeseran layanan kepada nasabah dari konvensional ke teknologi digital. Faktor jaga jarak dan tetap diam, bekerja, belajar di rumah menyebabkan Bank memperkuat layanan digitalnya, membentuk komunitas digital, meningkatkan kemampuan produk/jasa digital, melalui saluran: mobile banking, sms banking, internet banking, ATM dan Electronic Data Capturing (untuk transaksi dengan nasabah merchants). Berkaca pada kondisi di atas, bukan tidak mungkin bank akan mengubah outlet konvensional menjadi outlet digital, artinya proses front end bisnis akan lebih cepat.

Bank tampaknya akan mendorong dan memfasilitasi nasabah/debitur untuk go digital. UMKM sebagai nasabah/debitur yang paling terdampak pandemi saat ini, dapat dibantu dengan fasilitas menghubungkan calon pembeli dan UMKM binaannya, misalnya melalui pembuatan E-Katalog yang memuat semua produk UMKM yang dapat diakses calon pembeli secara daring. Hal ini sekaligus merupakan upaya Bank untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas usaha secara Go Digital, Go Online sekaligus menjadikannya Go Modern.

Migrasi ke digital adalah jalan finansial yang paling masuk akal. Misalnya: transaksi rutin yang mengharuskan kehadiran karyawan bank mengharuskan beban biaya yang lebih besar daripada yang dilakukan secara online atau via aplikasi mobile. Bank diperkirakan saling bersaing menguasai pasar digital banking untuk mengamankan loyalitas nasabah melalui aplikasi teknologi terbaru.

Namun, digital banking masih menyertakan sejumlah risiko dan pekerjaan rumah baik dari sisi internal maupun eksternal Bank, yaitu:

  1. Digitalisasi akan meningkatkan biaya belanja modal (CAPEX), yang bila tidak direncanakan dengan cermat dapat membebani anggaran bank. Penambahan infrastruktur hardware dan software harus disertai dengan arsitektur teknologi informasi yang selalu up to date yang memerlukan kecepatan pemahaman bankir dan Nasabah.

  2. Digitalisasi akan mensimplifikasi proses front end transaksi, sehingga berpotensi mengubah jenis outlet konvensional menjadi digital. Simplifikasi pekerjaan akan mengurangi campur tangan manusia, artinya bankir pelaku transaksi umum / konvensional yang dipindahkan ke sistem akan berkurang pekerjaannya. Bila dihitung dengan working load analysis beban kerja Bankir menjadi semakin berkurang, maka guna efisiensi bisa saja terjadi rasionalisasi jumlah pegawai. Bukan tidak mungkin tenaga kerja bank akan dikurangi, yang berarti menambah pengangguran.

  3. Faktor keamanan bertransaksi via digital banking masih merupakan isu sensitif. Bank harus mengamankan data base Nasabah dari kemungkinan penyalahgunaan data oleh pihak eksternal. Modus penipuan via call center bank, ATM card skimming dan trapping, pembajakan kartu kredit harus bisa dihilangkan.

  4. Harus ada perubahan mindset dan perilaku nasabah dan pekerja bank dalam bertransaksi dari kovensional ke digital. Belum semua nasabah memiliki kemampuan teknis (gaptek) dan finansial bertransaksi via digital banking. Bank perlu mempersiapkan karyawan yang memiliki digital literacy dan kemampuan adaptasi teknologi yang memadai.

  5. Otoritas moneter, keuangan dan bank: BI, OJK, LPS harus mengeluarkan regulasi yang lebih rigid tidak hanya berbasis aturan tertulis, tapi juga harus dapat dalam bentuk kode program komputer. Hal ini penting karena jika industri perbankan di era disrupsi bertujuan menjadi luwes dan adaptif, maka mereka harus memiliki lembaga regulator yang juga fleksibel.

Mengutip kajian konsultan Deloitte: “Open Banking: How to Flourish in an Uncertain Future”, bahwa Teknologi sebagai Infrastruktur-as-a Service (IaaS), Platform-as-a Service (PaaS) dan Software-as-a-Service (SaaS) telah membuka jalan bagi teknologi baru untuk masuk ke dalam sektor ritel perbankan dengan biaya overhead teknologi informasi yang cukup rendah. Kajian ini bisa diartikan bahwa transformasi yang terjadi di industri perbankan ini bisa diartikan sebagai ekspansinya penyedia jasa tradisional dan non tradisional dengan menyodorkan alternatif baru kepada jasa perbankan saat ini.

Era new formal harus dimanfaatkan perbankan untuk melakukan reorientasi pendekatan kepada nasabah melalui digital banking karena pesaing utama lembaga financial technology (FinTech) juga tidak akan tinggal diam. Komitmen level top manajemen menjadi sangat penting, selain Bank juga harus mencarikan solusi dari komplen dan insight nasabah. Hindari meskipun nasabah memberikan respon negatif, praktek bisnis bank masih saja kurang cepat berubah. Kuncinya bank mengaplikasikan insight nasabah secara langsung dan berdampak positif lewat pengalaman digital antara lain dengan meningkatkan kemampuan fitur transaksi belanja, sosial, pencarian dan pembayaran.

Bank yang masih berkutat dengan kantor bank, agen dan broker akan memberikan jalan pada layanan perbankan yang kontekstual dan berbasis pada kebutuhan / perilaku nasabah. Sekali lagi perlu redefinisi layanan finansial dalam kehidupan sehari-hari nasabah, pebisnis dan organisasi yang menggunakan jasanya. Teknologi sudah amat jelas melakukan redefinisi ini dan melakukannya dengan membuat layanan perbankan menjadi lebih efisien dan cepat. Bila berhasil maka jumlah nasabah, aset, deposit dan kapitalisasi pasar bank akan meningkat.

Penulis: Jenthu Apulonanto, Pengamat Ekonomi Perbankan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

AMN Manado Bangkitkan Etos Pemuda Jadi Cendekia Cerdas dan Terhormat

Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN) Manado membangkitkan etos para pemuda untuk menjadi cendekia yang cerdas dan terhormat, sehingga mereka terampil...
- Advertisement -

Baca berita yang ini