Penemuan Kerangka Prasejarah, Cikal Bakal Manusia Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, MAKASSAR – Penemuan kerangka manusia di Leang Paninnge, Sulawesi Selatan mengejutkan banyak kalangan. Kerangka ini pertama kali ditemukan pada pertengahan tahun 2015. Kurangnya kelengkapan peralatan untuk mengangkatnya menyebabkan penundaan untuk identifikasi. Barulah pada tahun 2017, kerangka tersebut berhasil diangkat.

Pengidentifikasian baru dapat dimulai pada tahun 2018, oleh Adam Brumm, seorang profesor arkeologi di Universitas Griffith Australia. Ia dan timnya juga melakukan kerja sama dengan Selina Carlhoff sebagai peneliti DNA yang berasal dari Max Planck Institute for Science of Human History, Jerman. Tak ketinggalan, Indonesia juga turut serta pada penelitian ini yang ditandai dengan keterlibatan Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Balai Arkeologi Makassar.

Dari pengidentifikasian tersebut, kerangka manusia itu adalah perempuan yang berusia 17-18 tahun dan telah dimakamkan dengan posisi telungkup sekitar 7.300-7.200 tahun silam. Manusia prasejarah ini juga diketahui memiliki latar belakang genetik Austromelanesoid, yang ciri-cirinya terlihat seperti orang-orang Papua dan Aborigin di Australia.

Setelah teridentifikasi, para peneliti menamai kerangka perempuan ini dengan nama Bessek, sebuah istilah penghormatan kepada perempuan yang baru lahir dalam budaya Bugis. Bersama Besse, ditemukan juga budaya-budaya prasejarah lain seperti mata panah bergerigi (Maros Points), beberapa alat-alat batu, serta tulang belulang.

Keberadaan keturunan Besse masih menjadi tanda tanya bagi para ilmuan. Namun, dapat diyakini bahwa Besse adalah manusia penjelajah yang tiba di Nusantara lebih dulu sebelum Austronesia, yang masuk ke Nusantara antara 4500 – 2000 tahun lalu.

Hal itu dilihat dari ditemukannya latar belakang genetika Asia Timur sebelum era neolitikum (zaman batu), yang cukup mengejutkan bagi peneliti genetika dari Eijkman Institute, Paradiptaji Kusuma, “Sedangkan selama ini yang diketahui adalah latar belakang genetik Asia di populasi Indonesia Timur itu berasal dari latar belakang genetik Austronesia. Maka ini hal baru,” katanya.

Sejumlah teori pun muncul mengenai jejak sejarah dari keluarga besar Besse di Sulawesi. “Apakah mereka saling membunuh, apakah mereka berkonstestasi, apakah mereka saling melebur?” Itu masih perlu bukti empirik lainnya, kata Iwan Sumantri, seorang arkeolog dari Unhas.

Tetapi Iwan meyakini bahwa Besse dan keluarganya bergeser ke arah Timur Indonesia, sebab kalah bersaing dalam teknologi oleh kaum Austronesia ketika mereka mulai menjelajah Nusantara.

“Misalnya mereka [Austronesia] sudah menggunakan perahu bercadik, sudah bisa domestifikasi binatang dan tumbuhan, mereka membawa padi dan tangga, membawa pinang, membawa babi, dan seterusnya.

“Itu yang tidak dimiliki oleh orang-orang Austromelanesoid,” lanjut Iwan. Tapi bagaimana pun kata dia, “dalam arkeologi kita tidak berbicara untuk satu fakta. Tapi harus banyak fakta untuk bisa kita kemudian menghubungkan.”

Leang Panninge adalah kawasan industri purba. Para peneliti banyak menemukan peninggalan budaya prasejarah, misalnya kapak batu, mata panah, pisau batu, termasuk sisa makanan mereka berupa tulang babi, rusa, tikus, kelelawar, dan siput air tawar.

Lokasi itu kini menjadi cagar budaya, dan zonasi. “Lokasi itu sudah terlindungi dengan menempatkan juru pelihara,” kata Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Laode Muhammad Aksa.

Temuan 4-5 manusia prasejarah lainnya masih tersimpan dengan keadaan aman oleh tim arkeolog dan Unhas. Penelitian lebih lanjut tertunda karena keterbatasan anggaran. Prof Akin Duli mengatakan biaya untuk satu kerangka manusia bisa mencapai Rp 1 miliar. Mulai dari tahap survei, ekskavasi hingga penentuan usia dan DNA-nya.

Selama ini, hasil temuan-temuan prasejarah khususnya di Sulawesi sangat bergantung dari kerja sama pihak luar seperti Griffith University.

Reporter: Sheila Permatasari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Antisipasi Kepadatan saat Mudik Lebaran, Polda DIY bakal Gunakan Skema Buka Tutup Jalan

Mata Indonesia, Yogyakarta - Sebanyak 11,7 juta penduduk diprediksi akan berkunjung ke Kota Jogja saat mudik lebaran tahun 2024. Hal itu menyusul dengan dibuka luasnya akses beberapa jalan tol termasuk masa cuti yang cukup panjang.
- Advertisement -

Baca berita yang ini