Mengulik Mudik

Baca Juga

By Hussen Gani Maricar (Jurnalis)

MINEWS – Semua tentu ada asal usulnya. Tak terkecuali mudik. Tapi kapan dan bagaimana prosesi masif ini bisa menjelma menjadi tradisi orang sebangsa senegara?

Jika pertanyaan soal mudik ini mau diarahkan pada hitungan kapan secara tahun, tentu sulit menjawabnya. Sebab selain tak tercatat pencetusnya, gerakan masif seperti mudik, bukanlah gerakan start bersama. Ia lazimnya lahir dari sebuah prosesi rutin yang berjalan berpuluh bahkan beratus tahun, sampai suatu saat ketemu momentum mbludaknya, baru kemudian disadari dan diidentifikasikan secara bersama.

Tapi ini bukan berarti fenomena mudik tidak bisa dikulik asal usulnya. Tetap bisa, walau sekedar deteksi kultural ala teka-teki.

Ditilik dari sisi bahasa, kata mudik bukanlah kata baku. Ia akronim dari dua kata, asal bahasa jawa ngoko: mulih dilik (pulang sebentar).

Tapi ditilik dari bahasa anak betawi tahun 70an, yang masih menggunakan diksi dikhotomik kota dan udik, definisi kata mudik bermakna tradisi kembali ke udik – kampung.

Maka dari sisi kata, mudik setidaknya bisa dikulik lewat dua kandungan harfiah. Pertama, mudik bukanlah sebuah prosesi khusus dengan makna khusus, dikerjakan secara khusus, demi tujuan khusus.

Kedua, sebaliknya, akronim ini juga memberi makna bahwa mudik merupakan proses sosial, yang mengalir begitu saja di masyarakat, dan baru diidentifikasikan justru pada saat ia sudah begitu menggejala.

Ini tak ubahnya dengan tradisi THR tunjangan hari raya. Siapa yang mencetuskan dan mempeloporinya, sampai jadi “kewajiban” begini? Tercatat Soekiman Wirjosandjojo, seorang politikus yang berasal dari partai Masyumi sekaligus Mendagri yang menelurkan ide tentang tunjangan kesejahteraan ini pada tahun 1952. Tapi bagaimana ia menjadi fenomena pemberian hadiah secara massal, itulah jalan sebuah dinamika social. Jika THR dikait-kaitan dengan akhir Ramadan, atau idul fitri, ceritanya bisa lain lagi, sebab Rasululllah dan para sahabat sendiri, tak pernah mencontohkan urusan THR. Tapi punten, ini bukan lantas hendak mengulik ulik THR sebagai tradisi bid’ah. Pikiran saya tak sampai ke sana.

Kembali ke mudik, terlepas kosa kata mana yang lebih mengena, yang jelas mudik sudah menjadi fenomena “tasmaya” terbesar dan sangat diperhitungkan di negara ini.

Secara umum, ada beberapa wujud sosial yang bisa digunakan untuk “mengulik” perjalanan kultur mudik di Indonesia.

Pertama, yang terkait dengan dua tautan sosial, yakni antara tumbuh kembangnya fenomena urban, dengan kesejatian orang desa yang internalized – mendarah daging — dengan kultur “desanya”. Pemafhumannya bisa diawali dari usia rantau warga desa ke kota, yang biasa berangkat setelah usia remaja. Merantau meninggalkan sanak saudara dan sejuta kenangan.

“Usia” perantau, sampai kapan pun tetaplah usia melankolik. Selalu berada dalam kondisi yang membandingkan – bahkan mengenangkan — nilai- dan tradisi asalnya saat berhadapan dengan fenomena rantau di depan matanya.

Inilah yang singkat ceritanya membuat anak perantauan homesick. Rindu kampung halaman.

Kedua, indikator yang berkait ikatan batiniah antara seseorang dengan keluarga batihnya. Ikatan ini tentu menemukan momentumnya di saat suasana sakral. Buat seorang muslim, Ramadan dan idul Fitri adalah momentum sakral yang paling menyentuh hati, menggugah ingatan pada keluarga, yang masih hidup maupun wafat, di samping kenangan akan guyubnya kampung halaman.

Ketiga, mudik adalah media pembuktian diri. Mudik bisa menjadi media untuk menyuarakan keberhasilannya. Sekaligus menjadi media berbagi paling efektif.

Asal Muasalnya

Lalu pertanyaannya, mengapa idul fitri yang dipilih sebagai momentum mudik? Kenapa tak hari lainnya, misalnya?

Ini tak lain karena idul fitri adalah masa di mana seorang muslim bergelimang haru. Sebulan menjalani ibadah dalam pecarian rahmat, maghfiroh dan ‘itqun Minannar, adalah momentum psikologis yang indah jika dilengkapi dengan kehangatan silarurahmi.

Dalam konteks itulah, Idul fitri menjadi identik dengan lebaran. Lebaran sendiri secara umum bukan diksi yang berasal dari khasanah Islam. Ia berasal dari tradisi Hindu, yang secara umum bermakna “sudah” atau “habis”. Lalu ke mana melabuhkan rasa “sudah” dan “habis”tadi?

Dalam perspektif inilah mudik – sungkem ke orang tua, bersilaturahmi dengan keluarga — sekali lagi menjadi “pelabuhan” akhirnya.

Kini lebaran dan Mudik sudah dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Sekalipun mudik sebenarnya bukanlah bagian dari ritual Islam. Di Timur Tengah dan beberapa negara lain Idul Fitri dirayakan secara biasa dan tidak ada tradisi mudik. Malah kalau mau ngulik-ngulik, justru Chinalah yang mengenal tradisi ini.

Orang Cina punya tradisi yang disebut chunyun, merayakan Imlek di kampung halaman. Dan dunia hari ini mencatat tradisi mudik China, sebagai tradisi mudik paling dahsyat di dunia, bayangkan, tahun 2018 lalu China News melaporkan tak kurang dari 385 juta orang china chunyun – mudik, waktu imlek. Laporan Xinhua, memprediksi, Chunyun 2018, telah menyibukan hampir tiga miliar perjalanan. Widiiiiih.

Lalu apakah tradisi mudik ini pengaruh dari warisan China perantauan yang berdasarkan Volkstelling (sensus) pada tahun 1930, populasinya mencapai 1.233.000 jiwa. Wallahualam.

Yang jelas, dari versi lain, ada juga rekonstruksi sejarah yang bertautan mudik. Kisahnya, bermula dari perjalanan panjang raja Mataram Amangkurat yang begitu tiba di kampung halaman, lantas memerintahkan pengikutnya untuk mulih dilik — pulang sebentar ke rumah masing-masing. Konon dari sini bermula kata mudik.

Meski tak berkait dengan lebaran, pandangan lain, ada yang meyakini kalau cikal bakal mudik sudah ada semenjak jaman majapahit. Konon zaman itu, orang terbiasa pulang kampung seusai musim panen. Setelah masuknya Islam, tradisi ini digunakan menjadi kebiasaan menjelang lebaran.

Lalu bagaimana dengan tradisi Islam? Agak sulit mendeteksi kultur mudik dari khasanah ini. Baginda Rasululllah dan para sahabat yang tinggal di Madinah, tak seorang pun yang mudik ke Makkah saat Idul Fitri.

Tapi ini tentu bukan hendak mengulik-ulik mudik sebagai tradisi bid’ah. Pikiran saya tak sampai ke sana. Karena bagaimana pun ghirohnya mudik itu silaturahmi, sesuatu yang sangat amat dianjurkan dalam Islam.

Lalu dari rangkaian cerita di atas, mana cerita mudik yang paling shoheh? Wallahualam.

(Penulis adalah jurnalis senior)

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini