Home Cuitan MI Maasai, Suku Pemburu yang Kini Beralih Melindungi Singa

Maasai, Suku Pemburu yang Kini Beralih Melindungi Singa

0
489

MATA INDONESIA, NAIROBI  – Membunuh singa adalah sebuah ritual dalam masyarakat tradisional Maasai. Di Maasai, Kenya Selatan, singa banyak tersebar dan hidup berdampingan dengan suku ini.

Meiteranga Kamunu Saitoti adalah salah seorang dari suku Maasai. Sejak ia kecil sudah bermimpi untuk membunuh singa. Singa dan hewan liar lainnya dapat hidup bebas tanpa pagar di sekitar tempat tinggal Saitoti pada saat itu.

Saitoti tinggal di tanah komunal Maasai, tanah peternakan kelompok. Secara geografis  tidak jauh dari Taman Nasional Amboseli, yang terkenal dengan gajah, singa dan pemandangan indah dari Gunung Kilimanjaro.

Suku Maasai sekarang melindungi SInga
Suku Maasai sekarang melindungi SInga

Di Amboseli, gajah berkubang di rawa-rawa tua, kucing besar serta hyena menguntit calon mangsa, rusa dan kerbau. Pada sisi lain di tanah lapang tersebut, singa-singa bersembunyi seakan bermain petak umpet dengan para pengembala Maasai dan ternak mereka.

Sebagian besar pedesaan di wilayah Afrika, singa dan pemangsa lainnya hidup berdampingan denga manusia. Maasai dan singa telah berbagi tanah selama berabad-abad. Masyarakat Maasai menganggap diri mereka bagaikan singa, yang terlihat superior, tangguh dan layaknya seorang bangsawan.

Singa selalu menjadi tolak ukur keberanian prajurit Maasai. Dalam sebuah ritus peralihan keberanian ini namanya olamaiyo. Jika seorang pemuda sudah mencapai usia dewasa, ia harus membuktikan kesiapannya menjadi seorang prajurit yang berani dalam berjuang dengan cara membunuh seekor singa. Anggota keluarga Saitoti menceritakan kisah-kisah mengenai perburuan singa. Di keluarganya, ayah dan pamannya telah berhasil membunuh 15 singa.

Saitoti telah membunuh singa pertamanya saat menginjak usia 19 tahun. Saat itu, ia menguntit singa betina melalui semak-semak dan menusuknya dari jarak dekat bak seorang prajurit.

Perburuan singa di Massai bukanlah perburuan singa asal-asalan. Perburuan singa ini bagaikan pertempuran hebat sampai mati antara dua kubu yang kuat. Membunuh singa dengan tombak dalam pertarungan tangan kosong membutuhkan keberanian yang cukup besar.

Beberapa tahun kemudian, Saitoti kembali membunuh 4 singa. Dia menjadi pembunuh singa terbaik dari generasinya, ia juga bagaikan pahlawan bagi rakyatnya.

Saitoti berkata “Jika tidak ada singa di Maasailand, berarti mencerminkan sesuatu yang buruk. Auman singa adalah tanda kebahagiaan alam liar dan seperti simbol keberuntungan”.

Pertambahan Penduduk

Tetapi semuanya berubah setelah populasi manusia di Amboseli berkembang pesat. Pada tahun 2006 merupakan titik krisis, 100 singa Amboseli hidup bersama 35.000 Maasai dan 2 juta ekor hewan ternak.

Dengan hanya sedikit ruang bagi singa dan mangsa liar mereka, para singa bergerilya untuk memangsa hewan ternak. Hal ini mengakibatkan Maasai mulai membunuh singa sebagai pembalasan atas apa yang telah diperbuat oleh para singa. Dalam kurun waktu 1 tahun, orang Maasai berhasil menombak atau meracuni sebanyak 42 ekor singa.

Hal ini membuat perubahan budaya pada wilayah tersebut dan menjadi ancaman bagi para singa Amboseli pada garis kepunahan.

Setelah membunuh singa keempatnya, Saitoti ditangkap dan dipenjarakan sebentar serta didenda 70.000 shilling Kenya. Nyatanya, pembunuhan singa dan perburuan liar lainnya merupakan sesuatu yang illegal di Kenya sejak tahun 1977.

Tak lama setelah itu, Saitoti bebas dan bergegas pulang, namun ternyata beberapa sapinya hilang. Saitoti yakin bahwa singa telah mengambil dan memangsa sapi-sapinya.

Ia bergegas mengejar, melacak dua singa melalui semak-semak. Beberapa jam kemudian, ia berhasil menusuk dada singa jantan dengan tombak. Ia mencari bukti dengan membelah perut singa, namun hasilnya nihil, tidak ada tanda bahwa singa tersebut telah memangsa sapi.

Saitoti menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah hal yang sia-sia, ia telah membunuh singa malang yang tidak bersalah. Ia melemparkan bangkai singa ke semak-semak dan berjalan pulang dengan diam.

Bulan-bulan berikutnya Saitoti menjadi penyendiri dan selalui menolak bergabung untuk memburu singa. Ejeken pengecut dari teman dan keluarganya menjadi hal yang ia terima sehari-hari. Saitoti tidak mengindahkan ejekan tersebut dan tetap bertahan untuk tidak memburu singa.

Saat itu mulai beredar kabar tentang program konservasi di daerah tersebut. Disebut penjaga singa, Saitoti ingin mengubah julukannya dari pejuang muda Maasai yang pernah membunuh singa menjadi pelindung singa dan komunitas Maasai.

Warga Maasai yang merupakan bagian dari program konservasi bergabung dengan ahli konservasi asal Amerika, Dr. Leela Hazzah dan Dr. Stephanie Dolrenry. Kedua ahli tersebut tahu bahwa keberhasilan program tersebut bergantung pada Saitoti, seorang pejuang sekaligus pembunuh singa.

Sebagai penjaga singa, Saitoti mahir dalam melacaak hewan ternak yang hilang dan memperingatkan orang lain untuk menjauhi tempat dimana kawanan singa berada. Saitoti dan para pemuda lain yang bergabung dalam program ini sekarang menunjukkan keseriusan juga keberanan dengan menghentikan warga Maasai yang mencoba untuk berburu singa.

“Mencegah perburuan singa ternyata jauh lebih sulit. Lebih mudah membunuh singa dengan tangan kosong” ujar Saitoti.

Patroli pertamanya sebagai penjaga singa ada di Selenkay Conservacy, sebuah peternakan kelompok Maasai di bagian utara Taman Nasional Amboseli. Ia mulai melacak singa betina tertentu. Setelah itu ia memasang kalung radio ke singa tersebut dan kemudian membebaskannya.

Saitoti menamai singa betina tersebut dengan Nosieki, sesuai dengan pertemuan pertama mereka. Ia punya firasat bahwa Nosieki adalah anak dari singa pertama yang telah ia bunuh. Saitoti berjanji akan melindungi singa ini sebagai penyesalaan karena telah membunuh ibunya.

Program ini mulai berjalan pada tahun 2007 dengan hanya memiliki 5 orang penjaga. Dampak penjaga singa seperti Saitoti langsung terasa, dimana dalam daerah tersebut pembunuhan singa berhent, meskipun di daerah lain masih terus terjadi pembunuhan singa.

Tahun 2018, menurut data terkait, tidak ada satu pun singa yang terbunuh di area Lion Guardian. Populasi singa pun meningkat enam kali lipat beberapa tahun sejak program penjaga singa dibuat. Secara keseluruhan jumlah singa meningkat empat kali lipat dan lebih dari 40 orang penjaga singa siaga berpatrili di hampir 4.000 km persegi.

Reporter: Shafira Annisa

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here