Kenegarawanan Presiden Sukarno dan Panglima Jenderal Soedirman

Baca Juga

MINEWS – “Adinda Soedirman, Assalamu’ alaikum wr wb”.  Demikian deretan kata pembuka dalam surat Presiden Sukarno kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman, ketika dirinya hendak bertolak dari Yogyakarta ke Jakarta.

Kalimat tersebut membuat terharu karena muncul di era pergerakan menghadapi agresi Belanda dalam rangka mempertahankan NKRI. Sebuah era yang dilalui dengan suasana prihatin dan perjuangan.

Sukarno sebagai Presiden memanggil adinda kepada Soedirman, Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat yang mempertahan NKRI sampai titik darah penghabisan.

Surat tersebut tertanggal 27/12/’49 atau tanggal dua puluh tujuh bulan Desember tahun seribu sembilan ratus empat puluh sembilan, atau 68 tahun yang lalu. Dalam surat tersebut dapat dilihat upaya mempertahankan NKRI diperlukan perjuangan dan strategi perjuangan serta lapang dada.

Presiden Sukarno bermaksud pamit  secara langsung meninggalkan Yogyakarta  menuju Jakarta di pagi hari pada waktu itu. (Pamit adalah istilah dalam bahasa Jawa yang mengandung pengertian pemberitahuan untuk meninggalkan suatu tempat.

Dalam konteks hubungan hirarkhi, –seperti hubungan orang tua dan anak– dapat juga mengandung pengertian permohonan ijin). Namun dikerenakan terdapat hal-hal penting yang harus dilakukan, maka melalui surat, walaupun dengan berat hati presiden berpamitan kepada Jenderal Soedirman, dengan memanggil sebagai dinda.

Dalam surat tersebut Presiden Sukarno menjelaskan bahwa keberadaan RIS (Republik Indonesia Serikat) adalah alat untuk meneruskan usaha dan perjuangan, tentunya menuju Indoensia merdeka seutuhnya. Dalam suratnya yang ditulis dalam ejaan bahasa Indonesia tempo doeloe, Presiden Sukarno menyatakan “R.I.S jang kita tjapai sekarang ini, bukanlah tudjuan kita yang terakhir. R.I.S  kita pakai sebagai alat untuk meneruskan usaha dan perdjuangan kita”.

Presiden Sukarno mengharap dukungan dan bantuan dari Dinda Jenderal Soediman untuk perjuangan ini. “Dalam usaha dan perdjuangan jang masih dihadapan kita itu, Kanda masih membutuhkan tenaga atau fikiran Dinda. Karena itu Kanda berharap supaja Dinda tetap memberi bantuan itu kepada Kanda”

Persatuan, komitmen, kesabaran dan lapang dada, antar pemimpin pada waktu itu sangatlah diperlukan. Hal ini bisa dipahami pada waktu itu Indonesia menghadapi tekanan berat dari agresi Negara Belanda, yaitu era perang mempertahankan kemerdekaan. Munculnya Republik Indonesia Serikat, yaitu sebuah negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar, yaitu Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. United Nations Commission for Indonesia ( UNCI)/perwakilan PBB  menyaksikan kesepakatan tersebut.

Kesepakatan negara RIS yang telah di terima tersebut di buat bukan sebagai akhir dari perjuangan. Sukarno sebagai pribadi manusia meminta maaf bila terdapat hal yang merupakan kekhilafan. “Banyak kechilafan Kanda sebagai manusia, — djuga terhadap Dinda. Karena itu, pada saat saja akan meninggalkan Djokja ini, saja minta supaya Dinda suka memaafkan segala kechilafan atau kesalahan, Kanda itu. Maafkanlah dengan ichlas”

Sukarno dan Jenderal Soedirman pernah berbeda pendapat ketika menghadapi agresi militer Belanda pada 18 Desember 1948. Perselisihan tersebut bermula ketika Jenderal Soedirman meminta Sukarno menghentikan perjuangan melalui jalur diplomasi saat negara dalam keadaan genting.

Panglima Soedirman meminta Presiden Sukarno untuk ikut bergerilya, sementara Sukarno berkeras hati untuk tetap tinggal di dalam kota, tidak ikut bergerilya,  untuk berjuang melalui jalur diplomasi.

Pendapat Jenderal Soedirman untuk memilih jalur gerilya dikerenakan Belanda telah ingkar janji, sehingga dianggap tidak berguna menggunakan jalur diplomasi tersebut.

Sementara Presiden Sukarno berkeyakinan bahwa melalui jalur diplomasi ini berguna bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari dunia internasional,  yang bermanfaat untuk menekan Belanda di panggung politik internasional.

Pendapat kedua Pimpinan besar tersebut bertolak belakang, Jenderal Soedirman memilih jalan non kooperatif sedangkan Sukarno memilih jalur diplomasi.

Kemudian pada akhirnya, dwitunggal Sukarno dam Muhammad Hatta ditangkap oleh pasukan Belanda, sedangkan Jenderal Soedirman walaupun dalam kondisi sakit paru-paru tetap melanjutkan melakukan perlawanan dengan memimpin bergerilya memimpin pasukan dari atas tandu.

Dengan sabar dan tabah TNI melakukan perang gerilya melawan Belanda. Jenderal Soedirman kecewa dengan keputusan dwitunggal Sukarno dan Muhammad Hatta yang memilih menyerah kepada Belanda daripada ikut dalam perang gerilya.

Jenderal Soedirman juga tidak mengakui hasil perundingan Roem-Roijen yang ditandatangani pada tanggal  7 Mei 1949 oleh delegasi Republik Indonesia dan negara Belanda. Dalam Perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di Jakarta tersebut, antara lain disebutkan bahwa: Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya.

####

Terkait pilihan gerilya yang dipimpin Panglima Jenderal Soedirman ini, Presiden Sukarno pernah menulis surat pribadi dengan nada penuh hormat kepada Jenderal Soedirman. Ia menyebut Jenderal Soedirman dengan panggilan yang mulia Panglima Besar dan meminta Jenderal Soedirman untuk turun dari hutan dan kembali ke Yogyakarta. Surat tersebut diantar oleh Overste Soeharto.

Kemudian, dengan berat hati Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta memenuhi panggilan Presiden Sukarno tanggal 10 Juli 1949, pemimpin dan presidennya. (Karena Pimpinan militer harus tunduk pada keputusan presiden).  Pertemuan kedua pemimpin tersebut berlangsung sangat mengharukan.

Di depan istana Presiden Yogyakarta, Sukarno merangkul Soedirman yang bermantel lusuh. Kedua mata pemimpin tersebut berkaca-kaca karena haru.

Pelukan dan sikap legowo lapang dada Jenderal Soedirman mengakhiri pertentangan kedua pemimpin kita. Setelah Panglima Besar Jenderal Soedirman melapor kepada Presidennya, kemudian Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta bertanya kabar Soedirman. Percakapan antar pemimpin bangsa ini berlangsung hangat dan penuh haru.

Setelah pertemuan tersebut dilanjutkan dengan memeriksa barisan kehormatan TNI yang telah menunggu Panglimanya. Barisan Pasukan TNI dengan seragam dan senjata apa adanya tersusun rapi di depan panglima mereka, Panglima Jenderal Soedirman dengan mantel lusuhnya.

####

Rasa ketidak puasan antara kedua pimpinan besar tersebut dapat diselesaikan dengan sikap negarawan dengan meninggalkan kepentingan ego masing-masing, yang tercermin dari surat-surat Sukarno kepada Jenderal Soedirman dan kesediaan Jenderal Soedirman mengikuti perintah Presiden.

Pelajaran berharga dapat kita ambil dalam peristiwa hubungan dua pemimpin besar ini, yaitu komitmen kepada tujuan perjuangan sebagai negara merdeka seutuhnya dan sikap lapang dada, dengan menomorsekiankan kepentingan ego, pribadi dan golongan.  Wallahu a’lam bishowab.

 

Penulis: M. Arief Khumaedy, Staf pada Sekretariat Kabinet

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini