Jangan Ngaku Anak Startup Kalau Belum Baca Artikel Ini

Baca Juga
by: Tuhu Nugraha – Konsultan Bisnis Digital

MINEWS – Pernah gak sih kalian denger temen-temen yang pengen bikin startup atau kerja di perusahaan startup?.

Ketika ditanya seperti apa sih startup itu, mereka pasti menjawab, “Startup ya Tokopedia, Bukalapak, Gojek dan Grab gitu deh sob. Terus kalau kerja di perusahaan startup, salary-nya wah juga…”

Bener gak jawabannya seperti itu gaes?? atau masih ada pengertian lain dari istilah startup itu sendiri? Biar gak bingung mana bener dan salahnya..Saya coba mengulik lebih jelas seperti apa sih pengertian startup sebenarnya.

Menurut saya, sebenarnya kan pengertian startup dalam Bahasa Indonesia – biar lebih gampang nih ya – terjemahannya adalah perusahaan rintisan yang baru didirikan, misalnya maksimal dua tahun.

Apakah Bukalapak, Tokopedia, Lazada itu bisa disebut startup? Mereka ini e-commerce..bagian dari startup yang berbasis teknologi.

Lho berarti ada startup yang tidak berbasis teknologi dong? Yaps..khan dari awal sesuai KBBI, startup itu perusahaan rintisan. Dengan kata lain, startup ada yang berbasis konvesional.

Kebetulan sekarang di era digital, maka startup berbasis teknologi lebih banyak dikenal dan laku di masyarakat. Sebab di era ekonomi digital saat ini, jumlah perusahaan besar semakin jarang.

Karena semuanya kan digantikan sama mesin atau robot. Makanya startup di Indonesia makin berkembang. Lalu bagaimana potensi kerja atau perkembangan bisnis startup saat ini?

Sebenarnya Indonesia agak ketinggalan sih, karena di negara lain sudah ngomongin inovasi dan entrepreneurship.

Itulah kenapa startup muncul, karena peluang terbesar di masa depan adalah membangun perusahaan rintisan sendiri, apakah berbasis digital ataupun konvensional.

Kan sekarang banyak industri kreatif di bawah Bekraf, ada fesyen , kuliner, ada lagi bermacam-macam, cafe dan lain-lain yang terkait industri itu. Cuma, kenapa sekarang kebanyakan e-commerce ya startup di Indonesia. Itu yang menjadi pertanyaan.

Jadi e-commerce ini lagi naik daun banget satu tahun dua tahun terakhir dan mondar-mandir iklannya di media massa maupun elektronik.

Sedihnya lagi, di sisi lain startup yang dibangun orang Indonesia cuma seperti itu-itu aja. Cuma jadi mediator.

Padahal sebenarnya syarat teknologi untuk sebuah startup itu luas bukan hanya yang ngomongin sifatnya mediator atau jadi broker sebenarnya.

Setuju khan kita sebut e-commerce yang ada di Indonesia sekarang, broker? Nih ada pembeli ada penjual, dia di tengah-tengah. Mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, Tiket.com, dan sejenis lainnya.

Sebenarnya banyak sekali inovasi lain yang bisa dikembangkan di startup. Kemarin saya pulang dari Australia di sana itu startup yang berfungsi sebagai mikroskop kecil. Jadi smartphone kita itu seperti ditempelin mikroskop. Jadi ada unsur edukasinya.

Ada juga startup untuk pertanian. Startup tersebut bisa mengecek ada hama baru apa yang muncul, mereka pakai big data. Sayangnya, startup yang ginian gak terlalu banyak muncul di Indonesia.

Kenapa? Karena setelah saya lihat pertama masalahnya ada di kita tidak punya mindset inovasi dan sikap kritis.

Sejak zaman dulu sekolah kita kan cuma disuruh menghafal aja, jadi kita gak bisa tuh mikirin sesuatu di luar yang ada. Ada surveinya kok di media Kompas, kita tuh cuma 5 persen yang berhasil, karena tidak ada inovasi baru.

Jadi kebanyakan bikin yang udah ada aja atau bikin versi yang sama yang udah dibikin di luar negeri.

Belum lagi masalah berikutnya adalah integrasi. Padahal kita punya banyak inkubator, coworking space dan lain-lain, itu tidak terintegrasi antara dunia industri dan akademik.

Jadinya apa, industri itu mereka tahu itu pelaku, tapi kita lupa dan beranggapan orang-orang akademik tahunya cuma baca jurnal dan semacamnya. Padahal mereka ini kan punya visi yang lebih jauh ke depan. Nah ini harusnya berkolaborasi.

Di Australia seperti itu, semua inkubator semua coworking space punya mentor akademik dari universitas. Terus challenge nya gimana? Walaupun sekarang industri inovasinya belum berjalan. Jadi ATM (amati, tiru, modifikasi itu gak masalah.

Prinsip ATM itu seperti ekonomi Cina. Negara ini kan sebenarnya menerapkan industri copy. Contoh, nih ada facebook, terus dia bikin versi cinanya. Tapi gak berhenti sampai situ, dia harus bikin inovasi apa yang sesuai pasar mereka.

Sama seperti yang dilakukan Gojek sebenarnya kan dia melihat di Indonesia itu lakunya yang gimana, secara sistem dan semuanya. Atau seperti Shopee, dia e-commerce tapi sangat paham pasar Asia, jadi bentukannya seperti yang ada saat ini.

Jadi harus dipahami, bukan sekedar bikin startup. “Yaudah bikin e-commerce baru.” Ya udah gak mungkin, apalagi dalam industri startup digital, ketika sudah ada satu yang menang sebagai unicorn, yaudah yang lain udah gak mungkin masuk.

Kenapa? karena datanya dia udah pegang semuanya. Semua negara di dunia sekarang sedang mempromosikan entrepreneurship untuk menyerap tenaga kerja. Karena tidak bisa kita bergantung untuk bekerja di perusahaan-perusahaan gede itu. Karena kita memang harus menciptakan opportunity sendiri.

Nah satu lagi yang harus digaris besarin dari startup ini adalah startup gak bisa sekedar ikut-ikutan atau tergantung mindsetnya kita. Kalau zaman dulu kan orang berpikir kita bikin, kayaknya ini bakalan laku.

Sekarang gak bisa, kita harus datang ke konsumen dulu, kita lihatin what’s consumen need gitu? Problemnya apa dan solusinya apa?

Jadi kita membangun sebuah produk berdasarkan apa yang orang butuhkan, apa yang menjadi painfull moment?

Nah itu yang kemudian dijadikan dasar membikin sesuatu. Saya sempat ketemu dengan startup yang lumayan cerdas, namanya Travelio. Jadi, misalnya nih kan ada Traveloka dan segala macam, cuma kan yang punya unit kadang-kadang males, harus nyiapin media sendiri, kontak sama orang yang mau sewa, belum lagi entar manajemennya gimana gitu.

Nah Travelio ini membantu itu semua, advising sampai connect dengan konsumennya, nyari konsumennya masuk ke berbagai aggregator itu dia yang ngurusin. Entar bagi hasil, ini kan memberi solusi kan.

Sebenarnya yang menjadi peluang besar di Indonesia ada dua trend. Secara global ada trend leisure economy. Jadi generasi milenial itu tidak lagi membeli produk banyak, seperti rumah atau apartemen baru, generasi sekarang nggak gitu.

Sebab generasi sekarang itu yang dibeli adalah experience, makanya traveling laku, kafe, bahkan sekarang dia bangun objek wisata khusus buat selfie. Bukan hanya kafe ya, jadi bener-bener tempat orang bayar masuk cuma untuk foto-foto.

Kenapa orang mau datang untuk foto doing? Karena mereka butuh konten dan harus baru terus-menerus. Kedua adalah kita itu lagi increasing kelas menengah, dari yang dulu mereka tidak punya duit, sekarang punya duit.

Ini pasarnya seksi banget, semua jualan apapun jadi laku. Dan hampir semuanya kita ini tergila-gila sama teknologi, terutama social media pastinya.

Makanya banyak investor masuk ke Indonesia, sebuah negara yang masih banyak hal yang perlu di-explore. Misalnya seperti kehadiran Financial Technology (Fintech) awal berkembangnya di Cina lalu di Indonesia.

Sebab masyarakat Indonesia itu sedikit yang bankable. Jadi startup Fintech lebih cepet naiknya, kalau di Australia gak banyak fintech begini. Kita jauh lebih jago, kenapa? Karena kita mesti ngejar orang yang tidak bankable ini bisa masuk ke sini.

Oke, dari penjelasan saya yang singkat ini (panjang sih sebenarnya), bisa kita tarik kesimpulan bahwa jika kita mau bikin startup, jangan hanya bisa ambil dari luar.

Tapi harus tahu sebenarnya yang ada di Indonesia ini masalahnya apa? Terus solusinya kira-kira gimana, berbasis teknologi atau enggak.

Semoga bermanfaat ya cuitan saya soal startup kali ini!!

Berita Terbaru

Seluruh Pihak Harus Terima Hasil Putusan Sidang MK

Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di ruang sidang lantai...
- Advertisement -

Baca berita yang ini