Merayakan Indonesia dari Rumah; Gerakan Konsep Nasionalisme ke Arah yang Sepatutnya

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Soekarno, Presiden pertama republik ini, dalam satu kesempatan pernah berujar “Barang siapa ingin Mutiara, hendaknya ia harus berani terjun ke lautan terdalam.”

Pernyataan ini dipercaya sebagai salah satu ungkapan tajam yang ia lemparkan untuk membakar semangat jiwa kaum muda saat itu, saat dihadapkan dengan situasi bangsa yang karut-marut, penuh pergolakan dan krisis di segala lini kehidupan. Soekarno dikenal sebagai Presiden yang sangat persuasif. Kata-katanya bisa membius sekaligus menyuntikkan harapan baru bagi rakyat.

Hingga kemerdekaan Indonesia kini genap 75 tahun, berpuluh-puluh tahun setelahnya, pernyataan ini saya kira masih sangat relevan. Kita, tentu saja, sedang memperingati kemerdekaan bangsa ini di tengah situasi yang amburadul dan nyaris tak terkendali. Berbagai krisis kembali melanda kehidupan bangsa ini.

Pringadi Abdi Surya, dalam sebuah artikelnya mengatakan, keresahan soal pertumbuhan ekonomi kian menghinggapi Sri Mulyani. APBN dianggapnya tidak akan mampu lagi menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Sektor swasta dan korporasi diharapkan bangkit agar perekonomian kembali tumbuh, plus dari merekalah pendapatan pajak terbanyak itu berasal. Indonesia di bawah bayang-bayang resesi.

Pandemi dan krisis yang mengekorinya, pada titik tertentu, membutuhkan adaptasi baru yang mesti diterima oleh semua orang. Kita, mau tak mau, harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru dan keterbatasan ini. Artinya, kita perlu membayangkan sebuah situasi dimana ada pergeseran nilai, kebiasaan dan pola kehidupan ke arah yang lebih baru dan adaptatif.

Perayaan Materialistik ke Imaterialistik

Merayakan kemerdekaan di tengah pandemi mungkin bisa menjadi salah satu sarana beradaptasi yang baru. Jika pada tahun-tahun sebelumnya kita terbiasa dengan perayaan yang sebenar-benarnya—pawai obor, perlombaan-perlombaan, malam keakraban, hingga orkes dangdut—agaknya tahun ini kita mesti menggantinya dengan perayaan yang lebih sederhana dan kontemplatif.

Sebagai warga negara, momen ini bisa jadi sarana kita memahami konsep nasionalisme yang selama ini ada di dalam hati masing-masing. Apakah konsep nasionalisme kita, dari tahun ke tahun, sudah bergerak ke arah yang sepatutnya? Atau hanya bertahan pada satu wilayah yang mungkin saja salah dan merugikan?

Pada 2018 lalu, kita sempat dihebohkan dengan seorang bocah, Joni Gala, yang dengan berani memanjat dan membetulkan bendera merah putih tersangkut saat upacara peringatan 17 Agustus berlangsung. Semua media menyoroti hal ini. Semua orang banyak yang memuji dan memberinya apresiasi. Joni kemudian diudang ke Jakarta dan diberi apresiasi dari beberapa petinggi negara maupun selebritis tanah air.

Namun, tanpa menyurutkan apresiasi kepada Joni, saya pikir, tindakan membiarkan dirinya memanjat juga patut dipertanyakan. Dengan tiang bendera (yang tinggi pada umumnya 7-10 meter), Joni memanjat tanpa pengaman apapun dan tanpa kekhawatiran besar dirinya akan terjatuh, patah tulang, dan hal buruk lain yang mungkin saja terjadi. Dan kita turut bertepuk tangan atas aksi berbahaya tersebut.

Bayangkan saja bila hal buruk itu terjadi. Betapa konsep nasionalisme yang keliru telah menutup rasionalitas manusia. Betapa konsep ini bisa saja membahayakan nyawa seorang anak yang masih memiliki masa depan yang begitu panjang.

Atau, contoh yang lebih baru, kisah Amar Hawari, seorang pria di daerah Sumatera Utara yang memungut bendera dari sungai dan membawanya pulang untuk dibersihkan. Saya pikir, contoh-contoh yang lebih baru, bahkan yang lebih ekstrem, akan terus-terusan muncul—melihat hal-hal yang ekstrem kerap diterima sebagai konsep nasionalisme yang tinggi di negara ini dan patut diapresiasi dengan uang yang jumlahnya tidak main-main. Hal berbahaya beratasnamakan nasionalisme akan terus terjadi bila kita tidak segera membenahi konsep ini.

Bagi saya, fenomena di atas adalah contoh kalau kita dibesarkan oleh konsep nasionalisme yang mungkin saja keliru, atau pada titik tertentu, bisa dikatakan berlebihan, berbahaya dan merugikan orang lain. Padahal, masih ada begitu banyak cara yang lebih ramah dan aman menunjukkan jiwa nasionalisme, tanpa perlu melakukan hal-hal berbahaya.

Peringatan kemerdekaan Indonesia dari rumah masing-masing di tahun ini, saya kira, bisa menjadi momen terbaik merefleksikan hal-hal di atas. Momen ini membuka peluang terciptanya destrukturasi konsep nasionalisme ke arah yang sepatutnya, meninggalkan kesalahan dan kemunduran yang menjenuhkan agar bisa semakin maju ke depannya. Kita mesti bisa membuang jiwa nasionalisme yang usang dan mungkin keliru tersebut dan memakai kacamata yang lebih manusiawi untuk memandang apa makna nasionalisme yang sebenar-benarnya.

Di luar itu semua, Indonesia tetaplah negara yang layak diperjuangkan dan diacungi jempol. Meski sampai sekarang, jujur, saya masih meragukan keindonesiaan diri sendiri, saya sudah puas dan bangga menjadi bagian dari negara ini; setidaknya, mendengarkan bunyi khas tukang kue putu malam-malam, tek-tek abang nasi goreng, gemuruh anak-anak kecil menyanyikan lagu kebangsaan dengan lancar dan lantang di momen ini, dan masih banyak lagi hal-hal istimewa yang tak akan cukup bila harus dituliskan.

Saya percaya, Indonesia bukan cuma kumpulan pulau yang mengapung dalam satu wilayah, tetapi juga kumpulan orang-orang gigih yang kadar perjuangannya tidak main-main; 10 orang mudanya, hati-hati, bisa saja mencabut semeru dari akarnya.

Dirgahayu, dirgahayu.

Penulis: Vincent Mario Atawolo
IG: @marioatwll
FB: Mario Atawollo
Twitter: @tanda__baca

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pelantikan dan Pengukuhan 27 Pejabat Tinggi Pratama Lingkup Pemprov NTT

Mata Indonesia, Kupang - Sebanyak 27 Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Lingkup Pemerintah Provinsi NTT dilantik dan dikukuhkan oleh Penjabat...
- Advertisement -

Baca berita yang ini