Kita Adalah Papua

Baca Juga

MATA INDONESIA, Sebuah persaudaraan selalu diawali dengan satu kata. Sebuah gambaran yang menunjukkan iktikad baik untuk menjalin hubungan. Kita, kata ajaib untuk mendudukkan semua orang. Dimana segalanya diikat dengan rasa menerima, saling percaya, dan mendukung segala hal yang ada walaupun berbeda.

Kiranya semua bisa bertanya, darimana persaudaraan dimunculkan?. Apakah dengan pemaksaan atau dengan sikap saling menerima?. Tentulah semua sepakat pada jawaban saling menerima.

Kehadiran Papua sebagai wilayah timur Indonesia, nampaknya kurang mendapat penerimaan dari masyarakat sendiri. Hal ini dipelopori oleh unsur SARA, dimana orang-orang yang berkulit hitam cenderung dipinggirkan dan dianggap ketinggalan zaman.

Ketika saya bertanya pada orang-orang “Siapkah menjadi warga Papua?. Kebanyakan dari mereka menyatakan sikap tidak siap. Alasan yang paling populer adalah sarana prasarana yang masih minim. Kemudian ada yang menambahkan alasan ekonomi. Dan ada yang beralasan tentang sulitnya membangun ikatan sosial.

Terlepas dari semua alasan itu, Papua di mata banyak orang masih mengandung skeptis negatif. Semua tidak siap jika harus menjadi Papua. Masih melekat kuat bayang-bayang ketinggalan zaman dan hal-hal lain yang dianggap tidak bermoral. Tentunya penggunaan kata “kita” untuk Papua masih jauh dari harapan. Belum ada titik temu diantara keduanya.

Mungkin hal ini yang membuat rentetan kerusuhan di Papua kian panjang. Warga Papua menganggap banyak ketiadakadilan yang terjadi, dan mesti harus diakhiri. Akan tetapi, cara yang dilakukan cenderung keliru, dan menimbulkan perang saudara antara warga setempat dan pihak TNI.

Kerusuhan seperti ini akan sering terjadi sampai ada salah satu pihak yang mengalah dan duduk bersama membangun jalinan persaudaraan. Menurut Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi Inggris, mengungkapkan tiga hal yang membuat konflik berakhir, yaitu hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan. Ketiga hal ini harus ada untuk menghentikan konflik yang berkepanjangan.

Dikutip dari laporan SATARA Institute, setidaknya ada tahap penyelesaian konflik Papua. Pada tahun 1963 sampai 1998 dilakukan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (OPM). Kemudian di tahun 1998 sampai 2014 dilakukan pembaruan kebijakan berupa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua. Terakhir, sejak 2014, dilakukan pembangunan yang terangkum dalam visi Nawacita Presiden Joko Widodo.

Kesalahan dari tiga periode penyelesaian konflik tersebut adalah masih menjadikan keamanan sebagai basis pendekatan. Sehingga rakyat merasa tertindas dan diperlakukan secara semena-mena. Apalagi ditambah dengan adanya praktek-praktek yang melanggar HAM.

Barangkali, cara-cara lembut bisa digunakan untuk melerai konflik yang terjadi. Hal ini bisa dimulai dengan meminta maaf dan mengubah segala skeptis negatif tentang Papua. Pihak pemerintah bisa menyampaikan permintaan maaf kepada warga Papua. Kerendahan hati seperti ini dipercaya bisa melerai emosi yang sudah kadung disulut sejak lama.

Saya akrab dengan beberapa teman Papua. Dari mereka saya menemukan keunikan tersendiri dari diri mereka. Dimana mereka kreatif dalam berimajinasi dan kekompakan dari mereka tidak bisa diragukan lagi. Meskipun ada beberapa tata bicara yang tidak saya mengerti, namun sikap mereka selalu hangat. Pun ketika banyak orang menyiarkan kejelekan-kejelekan orang Papua, saya justru melihat banyak kebaikan dari diri mereka.

Hal yang harus diluruskan adalah tentang rasa kesepahaman yang ada. Dimulai dari skeptis awal yang menunjukkan mereka membawa hajat baik dan berperilaku sopan. Kemudian dibumbui oleh kebersamaan dan tali pertemanan yang akrab. Tidak boleh bersepahaman tentang kejelekan mereka. Karena dengan skeptis seperti itu, tentu akan menambah api emosi yang sudah memanas.

Maka, barangkali yang harus ditanyakan pada diri masing-masing adalah siapkah menerima mereka?. Siapkah menghapus skeptis buruk tentang mereka?. Dan siapkah menerima segala bentuk perbedaan yang mereka bawa?. Pertanyaan seperti ini akan membawa jiwa kerukunan untuk seluruh lapisan masyarakat.

Semua bisa bersatu asalkan mempunyai alur pemikiran yang positif antara satu dengan yang lain. Dimulai dari prasangka, maka akan mengubah segala hal, termasuk perilaku yang dimunculkan. Konsep saling menghargai dan menghormati inilah yang menjadi cikal bakal dari kerukunan. Dan dari sebab inilah Indonesia bisa dimerdekakan dari segala pertengkaran.

Hasil akhir yang akan dicapai adalah semua orang akan merasa bangga menyebut dirinya Papua. Tidak ada perasaan malu ataupun merasa terbebani untuk menyangkutkan dirinya dengan Papua. Karena Papua dimatanya, layak dikagumi dan begitu indah untuk ditampilkan di mata dunia.

Penulis: Muhammad Nur Faizi
Ig: @nuer_faizi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Kota Jogja Mulai Disorot, Heroe Poerwadi Akhirnya Diusung PAN, Budi Waljiman Dikawal Gerindra

Mata Indonesia, Yogyakarta - Persiapan untuk Pilkada pada pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jogja mulai memanas. Beberapa figur telah muncul sebagai calon potensial dari berbagai partai politik, di antaranya adalah Heroe Poerwadi dan Budi Waljiman.
- Advertisement -

Baca berita yang ini