Hari Kartini, Bagaimana Emansipasi Wanita dalam Perspektif Islam?

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Raden Adjeng Kartini merupakan pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak kaumnya (emansipasi wanita). Sebagai penghormatan, setiap hari lahirnya yaitu 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.

Salah satu yang diperjuangkan wanita kelahiran Jepara 1879 itu yakni “perempuan tak mesti terkungkung dalam urusan masak memasak di dapur, namun juga mesti punya kesempatan menjadi wanita karir”. Dan perjuangan Kartini pun berhasil, wanita tak lagi mutlak di bawah kendali laki-laki dalam beberapa aspek sosial.

Lalu bagaimana pandangan Islam tentang perjuangan meraih emansipasi wanita tersebut? Di dalam Islam, perempuan adalah sosok yang dimuliakan, bukan sosok yang diabaikan perannya seperti zaman sebelum Kartini di Indonesia.

Berbeda dengan beberapa negara di Timur Tengah, Islam di Indonesia merupakan Islam moderat yang ramah, toleran, bertujuan menerapkan misi rahmatan lil alamin dan menggarisbawahi pentingnya keseimbangan.

Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) menilai bahwa Islam menetapkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan porsi dan tanggungjawab yang harus dipikul.

Meski laki-laki ditakdirkan sebagai pemimpin, Rasulullah tak pernah sekalipun merendahkan perempuan, bahkan Rasulullah sangat memuliakannya.

Seperti dalam hadis berikut: “Seorang sahabat bertanya kepada Nabi; Wahai Rasulullah, kepada siapakah seharusnya aku harus berbakti pertama kali? Nabi memberikan jawaban dengan ucapan; Ibumu sampai diulangi tiga kali, baru kemudian yang keempat Nabi mengatakan Ayahmu” (HR. Bukhari).

Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam berkata: Mendengar dan taat (dari istri kepada suami, murid kepada guru, dll) adalah wajib, selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika diperintahkan dengan kemaksiatan , maka tidak wajib mendengar dan menaati.”

Berdasarkan hadis di atas, wanita karier sekalipun lebih tinggi prestasinya dibanding pasangan, tetap wajib mendengarkan dan taat perintah suaminya selama itu sesuai syariat agama.

Sementara dalam Kitab Hasiah Jamal juz 4 halaman 509, dijelaskan bahwa seorang Muslimah boleh menjadi wanita karier apabila memenuhi tiga syarat. Syarat pertama adalah Aman dari fitnah, yakni aman dari hal-hal yang membahayakan dirinya, hartanya, serta aman dari maksiat. Kedua, suami miskin atau tidak mampu menafkahi keluarganya. Terakhir adalah mendapat izin dari wali/suami jika suami masih mampu memberi nafkah.

Penulis: Andhika Ilham Ramadhan

Mahasiswa Universitas Veteran Jakarta 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Terima Lapang Dada

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini